“Menurut informasi sementara dari tim lidik kami, memotong. Nah, itu dilakukan sekitar 10 persen. Yang 2 persen untuk tingkat kabupaten, kemudian 8 persen persen itu adalah untuk tingkat provinsi. Ini yang kemudian dibagi-bagi. Ke mana-mana, kita belum tahu,” tutur Basaria.
Selain Irwandi dan Ahmadi yang ditetapkan jadi tersangka, ada dua orang swasta yang juga dijerat KPK sebagai tersangka. Yakni Hendri Yuzal dan Syaiful Bahri. Untuk Irwandi, Hendri dan Syaiful dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan Ahmadi dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Apresiasi KPK
OTT KPK di Kota Serambi Mekah diapresiasi banyak pihak. Salah satunya datang dari Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh. Dengan besarnya dana Otonomi Khusus (Otsus) yang diterima dari Pemerintah Pusat, bahkan tahun ini mencapai Rp8 triliun, sudah seharusnya pengungkapan kasus korupsi tidak hanya berhenti di Irwandi Yusuf semata.
Kepala Divisi Advokasi GeRAK Aceh Hayatuddin Tanjung menilai, langkah yang dilakukan KPK sangat tepat. Mengingat proses pencegahan di Aceh sudah dilaksanakan sejak lama, namun belum ada tindakan apapun yang menimbulkan efek jera terhadap perilaku korup di Aceh selama ini.
“Karena itu GeRAK mengapresiasi langkah OTT yang dilakukan KPK di Aceh. Ini bisa menjadi lampu merah bagi pejabat negera di Aceh,” ujarnya di Banda Aceh, Rabu (4/7).
Menurut Hayatuddin, penangkapan terhadap kepala daerah di Aceh ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi stakeholder di Aceh. Karena praktik korupsi seperti itu sebenarnya banyak terjadi, namun belum ada tindakan dari aparat penegak hukum di Aceh. “Kami menyayangkan, seorang kepala daerah yang seharusnya menjadi motor penggerak kesejahteraan rakyat, tapi malah terlibat dalam praktik korup seperti ini,” cetusnya.
Di sisi lain, Hayatuddin meminta KPK tidak berhenti sampai dengan kasus ini saja. Melainkan harus melakukan penindakan terhadap perkara dugaan tindak pidana korupsi lainnya di Aceh.
KPK wajib terus memantau penggunaan anggaran di Aceh, sebab Aceh salah satu daerah yang mengelola anggaran daerah (APBA) begitu besar dan bahkan tahun ini mencapai Rp 15 triliun lebih. Lebih lanjut Hayatuddin mengungkapkan, Aceh merupakan daerah yang memiliki dana Otonomi Khusus (Otsus) sangat besar dan selalu meningkat setiap tahunnya diberikan oleh Pemerintah Pusat. Pada tahun ini saja mencapai Rp8 triliun.
“Untuk itu KPK harus memberikan perhatian khusus terhadap Aceh dalam upaya penindakan. Apalagi Aceh telah ditetapkan sebagai daerah yang menjadi titik fokus KPK dari 5 provinsi lain di Indonesia,” ungkapnya.(jpc/ted)