Impeachment Jokowi hanya Gertakan Parpol

Hukum | Jumat, 04 Oktober 2019 - 15:35 WIB

Impeachment Jokowi hanya Gertakan Parpol
Presiden Joko Widodo mengundang puluhan tokoh ke Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Jokowi membahas sejumlah hal dengan para tokoh, salah satunya terkait aksi unjuk rasa mahasiswa menolak UU KPK hasil revisi. (Setpres)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Beberapa parpol mulai melempar wacana pemakzulan (impeachment) jika presiden menerbitkan perppu KPK. Namun, wacana itu sebenarnya hanya gertakan. Sebab, sistem pemilihan presiden secara langsung membuat pemakzulan tidak mungkin dilakukan DPR.

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menjelaskan, sistem presidensial saat ini sudah lebih kuat. Dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat, presiden tidak bisa diturunkan di tengah masa jabatannya karena alasan politik. ”Presiden hanya bisa dijatuhkan dengan alasan hukum, dan prosesnya panjang,” jelas Bivitri kemarin (3/10).


Dia menyebutkan bahwa hal tersebut diatur dalam pasal 7 UUD 1945. Apabila presiden atau wakil presiden terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan negara, korupsi, atau pelanggaran berat lainnya, DPR dapat mengusulkan pemberhentian. Pemberhentian itu didahului dengan pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi dan keluar putusan atau vonis bersalah.

Sementara itu, penerbitan perppu bukan termasuk pelanggaran yang dimaksud dalam undang-undang. Justru, jelas dia, penerbitan perppu disarankan atas tiga hal. Salah satunya ketika undang-undang yang tersedia dianggap tidak memadai. Dia tidak mengerti mengapa ada pihak-pihak yang menganggap perppu KPK inkonstitusional. Padahal, sudah beberapa kali presiden mengeluarkan perppu dalam sejarah pemerintahan Indonesia. ”Mungkin karena UU KPK menyentuh hajat hidup para elite politik,” lanjut Bivitri.

Dia mengingatkan bahwa berbagai penolakan masyarakat seharusnya sudah menunjukkan seberapa mendesaknya perppu KPK. Meski, genting atau tidak itu bergantung subjektivitas presiden. ”Presiden yang baik itu adalah yang responsif terhadap suara masyarakat, kemudian langsung melakukan tindakan konstitusional,” tegasnya.

Rohaniwan dan budayawan Franz Magnis Suseno berharap perppu KPK bisa dikeluarkan Presiden Jokowi. ”Kalau memang tidak akan dikeluarkan, saya merasa kecewa,” ujar dia kepada Jawa Pos kemarin. Franz menambahkan, perppu KPK sangat dibutuhkan untuk memastikan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia tidak menurun.

Di tengah bayang-bayang suram pemberantasan korupsi, dia berharap presiden muncul sebagai pemimpin bangsa. ”Jangan sebagai orang yang taat kepada partai,” imbuhnya. Franz juga menanggapi komentar bernada ancaman yang disampaikan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh soal potensi pemakzulan jika Jokowi menerbitkan perppu. Menurut dia, itu kekeliruan besar. Apalagi, tokoh dan ahli hukum sepakat presiden memiliki hak mengeluarkan perppu.

Pada bagian lain, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari yakin tidak akan terjadi pemakzulan bila presiden mengeluarkan perppu. ’’Ini semacam gertak sambalnya partai politik kepada presiden,’’ terang dia saat berbincang dengan Jawa Pos kemarin.

Hal itu tidak lepas dari sistem presidensial yang dianut Indonesia saat ini. Feri menuturkan, saat pertemuan presiden dengan sejumlah tokoh beberapa waktu lalu, dirinya ikut. Salah satu usulan kepada presiden saat itu adalah mengeluarkan perppu untuk menyelamatkan KPK. ’’Salah satu saran kami, presiden memang harus berdiri bersama rakyat dibandingkan partai politik,’’ lanjutnya.

Presiden, tutur Feri, tidak perlu khawatir untuk bersikap berbeda dengan partai politik. Baik pendukung maupun oposisi. Apalagi sampai khawatir di-impeach. Sebab, masa jabatan presiden dalam sistem yang dianut Indonesia saat ini sudah tetap sepanjang lima tahun. Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa presiden hanya bisa dimakzulkan lewat lima hal. Yakni, korupsi, suap, pengkhianatan terhadap negara, perbuatan tercela, dan melakukan tindak pidana berat lain.

’’Mengeluarkan perppu tidak bisa di-impeach karena soal perppu diatur dalam pasal 22 ayat 1 UUD. Jadi konstitusional,’’ tuturnya. Karena itu, posisi presiden sebenarnya sangat kuat. Bahkan, bisa membalas partai-partai yang coba mengancamnya lewat isu pemakzulan. ’’Presiden bisa membubarkan partai politik melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi,’’ jelas Feri. Karena itu, Feri heran mengapa partai berani mengancam presiden, padahal posisi presiden lebih kuat.

Dalam sistem ketatanegaraan, bila DPR memang berniat menolak perppu, tentu jalurnya lewat pembahasan di sidang paripurna. Penolakan tersebut tidak menjadi masalah sepanjang dampaknya masih dalam koridor ketatanegaraan. Bila memang akhirnya perppu tidak disetujui, masih ada jalan lain, yakni legislative review alias revisi UU. Atau gugatan di Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, Plt Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Tjahjo Kumolo enggan berkomentar mengenai perppu KPK. ”Sementara tidak ada komentar, mohon maaf,” ujar dia saat ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta kemarin. Hal senada disampaikan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Dia meminta untuk menunggu sikap Presiden Jokowi. ”Tunggu, tunggu, tunggu. Kalau presiden sudah menyatakan sesuatu, nah, itu (jawabannya). Sekarang kan belum,” ujarnya.

Namun, secara teknis, Pratikno mengakui UU KPK yang baru belum ditandatangani. Sebab, dalam draf yang diterima istana, masih ditemui beberapa kesalahan penulisan. Karena itu, perlu dikirim ulang ke DPR. ”Tipo-tipo yang perlu klarifikasi, yang nanti bisa menimbulkan interpretasi,” imbuhnya. Saat didesak pasal-pasal apa saja yang ditemukan kesalahan penulisan, mantan rektor Universitas Gajah Mada tersebut tidak bisa menjelaskan. ”Wah kamu tanya detail, gak apal aku.”

Pada bagian lain, kemarin (3/10) sejumlah perwakilan mahasiswa bertemu dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di kantor KSP, kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.

Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dino Ardiansyah mengatakan, komunikasi dilakukan untuk mencari kepastian terkait nasib UU KPK. Pasalnya, berbeda dengan tuntutan sejumlah RUU yang sudah ditunda, UU KPK belum mendapat kepastian. ’’Minimal, dari Pak Jokowi selaku eksekutif ada statement mengeluarkan perppu,” ujarnya.

Dalam pembicaraan dengan Moeldoko, Dino mengaku belum mendapat kepastian soal nasib perppu. Mantan panglima TNI itu hanya akan menyampaikan aspirasi mahasiswa kepada presiden.

Dino menambahkan, pihaknya juga mendesak agar dilakukan dialog terbuka antara mahasiswa dan presiden. Namun, lagi-lagi Moeldoko tidak berani menjanjikan. ’’Kalau 14 Oktober tidak ada diskusi dan tidak ada statement (perppu) dari presiden, kami pastikan mahasiswa akan turun ke jalan dan lebih besar,” imbuhnya.

Tuntutan yang akan disampaikan tetap berada di jalur konstitusional.

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook