Sebagai tokoh masyarakat muslim yang mendapatkan jabatan struktural di pemerintahan Kabupaten Sabu Raijua setingkat kepala dinas, H Ramly Ika tahu betul rasanya hidup dalam keberagaman. Sebab, sebelum menikah dengannya, sang istri adalah penganut Protestan yang taat. Meski begitu, hubungan dia dan keluarganya dengan keluarga besar istrinya masih terjalin dengan baik dalam bingkai keberagaman.
Oleh Hary B Koriun
SENIN, 27 Mei 2019, saya berjanji bertemu dengan Kepala Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sabu Raijua, H Ramly Ika. Sebenarnya sudah beberapa kali kami terpaksa membatalkan janji karena dia tiba-tiba ada perjalanan dinas, baik ke Kupang, Jakarta, atau pulang ke kampung halamannya di Alor. Tapi ketika sehari sebelumnya saya hubungi, Ramly yang baru tiba dari Alor, meminta saya menemuinya pada pada pagi ini.
Kami pernah bertemu dua kali sebelumnya. Yang pertama saat saya diperkenalkan dan diterima oleh Pemkab Sabu Raijua pada 2 Mei 2019. Lalu bertemu tidak sengaja saat sama-ama berada di Bank Nusa Tenggara Timur (Bank NTT).
Saya sampai di kantornya –yang hanya disekat dengan rak buku yang lumayan tinggi—setelah terlebih dulu pamit kepada pimpinan daerah Sabu Raijua yang diwakili Sekretaris Daerah (Sekda) Jonathan R Djami, diantar oleh Kadis Pendidikan Pemuda Kebudayaan dan Olahraga (PPKO) Drs Ketut Sudiarta, yang diterima di ruang kerja Sekda di Kantor Bupati.
Sambil menunggunya, saya melihat-lihat koleksi buku di perpustakaan. Saya bertanya beberapa buku, termasuk Sabu Raijua dalam Angka yang diterbitkan setiap tahun oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun kata salah seorang petugas perpustakaan, baru yang terbit tahun 2017 yang ada. Yang 2018 belum sampai. Untuk ukuran perpustakaan kabupaten, memang jumlah koleksinya masih kurang memadai. Tetapi ini bisa dimaklumi karena letak kabupaten ini yang memang jauh berada paling selatan Indonesia.
Sekitar 15 menit menunggu, Ramly Ika datang dan langsung mempersilakan saya masuk ke ruangannya. “Maaf tidak disediakan air minum ya. Puasa, kan?” katanya sambil tersenyum. “Kalau ada air minum di sini, takutnya saya juga batal puasa,” tambahnya.
Kali ini sambil tertawa. Kami tertawa bersama, seperti kawan lama yang sedang bertemu kembali.
Setelah ngobrol ke sana-sini, akhirnya kami sepakati untuk fokus pada dua hal: masalah literasi dan tentang hubungan-hubungan antariman di Sabu Raijua. Alasan yang pertama karena dia seorang Kepala Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sabu Raijua. Dan yang kedua, karena juga salah satu tokoh masyarakat muslim yang punya jabatan penting di sana.
Ramly adalah salah seorang yang mengalami “persoalan” langsung tentang hubungan antariman ini. Ramly menikahi Victoria Mone yang asli Sabu dan beragama Protestan sebelum menikah dengannya. Victoria berasal dari keluarga Protestan yang taat. Mereka bertemu di Kupang saat sama-sama menjadi PNS di sana. Ketika Victoria memilih masuk Islam untuk menikah dengan Ramly, seluruh keluarga besarnya menyetujui. Kini mereka sudah dikaruniai tiga anak.
Di Sabu, jika ada lelaki dari luar Sabu yang menikahi wanita Sabu, dia akan dihormati dan dihargai oleh keluarga besarnya. Tak peduli agama dan sukunya apa. Meskipun si wanita harus keluar dari agama yang dianut keluarga besarnya.
"Saya merasakan itu. Sampai sekarang hubungan saya dan istri saya dengan keluarga besar istri saya baik-baik saja. Mereka sangat menghormati pilihan anggota keluarga terhadap agama," jelas lelaki 54 tahun itu.
Toleransi yang terjaga dengan baik juga terlihat dalam komposisi pejabat setingkat dirinya di Sabu Raijua. Saat ini ada 4 pejabat setingkat kepala dinas/badan dari kaum muslim. Ramly menilai, dengan populasi pemeluk Islam yang hanya 0,70 persen, jumlah itu sudah cukup signifikan. Ini belum umat Islam yang memegang jabatan sebagai kepala bidang (kabid) atau kepala seksi (kasi) di banyak instansi. Jumlahnya lumayan banyak.