Selama ini badan yang dipimpinnya ini banyak melakukan kegiatan dengan menyasar siswa-siswi di berbagai jenjang sekolah. Seperti membuat lomba berpidato, lomba bercerita, berbagai kegiatan olimpade pelajaran dan sebagianya dengan basis harus membaca buku-buku pengetahuan. Rata-rata dari kegiatan itu, antusiasme para siswa sangat tinggi.
Begitu juga dengan upaya perpustakaan keliling ke desa-desa yang terus dilakukan. Dia melihat, juga mendapat laporan dari stafnya, bahwa minat warga desa untuk datang ke mobil-mobil perpustakaan keliling itu sangat besar. Hanya saja, karena tak banyak buku baru saat mobil-mobil itu datang berulang kali ke desa-desa, antusias mereka menjadi berkurang.
“Persoalannya, pemerintah tak punya banyak dana untuk pengadaan buku baru. Ini yang menjadi salah satu masalah...” jelas Ramly.
Katanya, pemerintah memang lebih mengutamakan sektor-sektor ekonomi yang mampu mengangkat perekonomian masyarakat. Dia memaklumi itu. Karena dia percaya, jika ekonomi masyarakat meningkat, pasti meningkat juga di sektor lainnya, termasuk dunia literasi ini. Ramly berharap di tengah upaya pembangunan ekonomi masyarakat sebagai hal utama yang terus diperhatikan pemerintah, sektor pendidikan, terutama persoalan literasi ini juga diperhatikan dan dianggap penting.
“Membangun sumber daya manusia itu sama pentingnya dengan membangun sektor ekonomi masyarakat,” ungkap Ramly.
Lama berbincang-bincang, tak terasi matahari sudah meninggi. Saya pamit, dan sekaligus pamit mau berangkat ke Kupang (selanjutnya ke Jakarta dan Pekanbaru) malam nanti dengan Kapal Fungka.
Ramly terkejut. “Rasanya baru kemarin pertama kali ketemu, kok tak terasa sudah sebulan ya?”
“Begitulah waktu, Pak. Terus berjalan dan tak peduli dengan apa pun yang kita lakukan,” kata saya.
“Betul, waktu tak memberi kita toleransi apa puu, tetapi dalam kehidupan bergama dan berbudaya, toleransi sangat penting...” ujarnya sambil tersenyum.
Kami kemudian bersalaman dan berangkulan seperti sahabat lama yang baru bertemu dan harus berpisah kembali. “Semoga ada kesempatan saya untuk kembali ke pulau ini,” kata saya kemudian.
Dia mengantarkan saya sampai pintu keluar gedung itu. Ketika saya sudah berada di atas mobil, dia melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
Iya, waktu memang tak memberi kita toleransi apa pun. Itu hari terakhir saya di Sabu Raijua. Saya tak tahu apakah nanti saya punya kesempatan kembali ke pulau karang ini. Saya pasti akan sangat merindukan semua kenangan yang terjadi selama di sini. Saya merindukan kehangatan dan keramahan masyarakatnya meski kami berbeda iman dan budaya.
Selamat tinggal Sabu Raijua, semoga kita bisa bertemu kembali... (Tamat)