Baik di Sabu maupun selama tinggal di Raijua, Nando memang dikenal suka mengkaji hal-hal tentang kebudayaan, terutama masalah adat dan kebiasaan masyarakat. Termasuk di dalamnya segala proses upacara adat, semua ritualnya, dan sebagainya. Maka, berada di arena adu taji ini, baginya, sangat penting berbaur dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Sabu dan Raijua.
“Jangan dilihat dari taruhan atau judinya, tetapi harus dilihat dari sisi sosio-antropologis masyarakat,” jelasnya lagi.
Saya bersama Yulius dan Nando duduk lumayan lama di arena ini. Sekaligus menunggu waktu berbuka puasa tiba. Nando dan Yulius banyak kenal mereka. Saling sapa, kemudian ngobrol. Di beberapa kesempatan saya berusaha mengambil gambar. Tetapi saya tak sampai hati melihat ayam-ayam yang harus bertarung hingga titik darah penghabisan itu. Di salah satu taji masing-masing ayam itu dipasang pisau kecil yang sangat tajam. Jika sangat tepat, sekali gebrak bisa langsung sobek perut lawannya.
Tapi, benar kata Nando. Selama duduk di tanah berumput sambil melihat kerumunan ini, saya banyak dikenalkan dengan banyak teman Nando maupun Yulius. Mereka kemudian ngajak ngobrol tentang banyak hal. Dari yang serius hingga yang bercanda. Beberapa di antara mereka juga bercerita tentang aktivitas Eko Nugroho yang banyak membantu anak-anak belajar membaca dan bahasa Inggris di sini.
“Di sini, orang baru gampang diingat dan dikenal oleh masyarakat. Mereka akan menilai baik dan buruknya orang baru itu dari bagaimana dia bergaul...” kata Yulius.
Senja sudah berangsur menghilang. Warna kekuningan di barat sudah mulai berkurang, beralih ke warna gelap. Jam di pergelangan saya sudah menunjukkan saatnya berbuka puasa. Saya membeli beberapa botol air mineral dan teh dingin kemasan. Banyak pedagang makanan, minuman, bahkan pakaian, berjualan di sini. Seperti pasar kaget. Kami bertiga, plus beberapa teman Nando dan Yulius, ikut minum bersama. Setelah itu, malam tiba-tiba sudah datang. Meskipun kerumunan adu taji ini belum selesai, kami akhirnya mohon diri untuk kembali ke Ledeunu. Kembali ke penginapan.
Saat sampai di penginapan dan membersihkan badan dengan mandi, saya menjadi terkejut karena air yang tertampung di ember dari kran yang mengucur, rasanya bukan payau lagi, tapi asin. Sikat gigi dan odol yang ada di atasnya yang siap saya pakai, akhirnya urung saya gunakan. Saya mengambil air minum kemasan ukuran gelas, dan menggunakan untuk gosok gigi. Sedangkan air asin di ember, mau tak mau, saya pakai juga untuk mandi.
Setelah itu, di teras penginapan, kami –saya, Nando, Yulius, dan beberapa teman Nando—ngobrol ke sana-sini tentang banyak hal. Ketika obrolannya serius kami seperti para pakar yang sedang memikirkan kelangsungan hidup negara. Tapi saat sampai pada obrolan yang cair dan penuh candaan, kami tertawa bersama-sama. Yulius yang akan segera pulang ke Bolua, harus ditunda karena asyik ngobrol dengan kami. Hampir pukul 12.00 Wita kami ngobrol sebelum saya bilang Yulius harus pulang karena besok pagi kami harus kembali ke Sabu.
Esok paginya, hampir pukul sekitar pukul 09.00 Wita, kami kembali naik kapal ke Sabu. Yulius mengajak istri dan anak-anaknya ke Sabu karena liburan sekolah. Ketika kapal meninggalkan dermaga, dalam hati saya mengucapkan “Helama pehabo, Raijua. Selamat bertemu lagi di lain waktu... Terima kasih telah mengajarkan tentang kehidupan yang keras di sini...”
Pelan tapi pasti, Kapal Cendana 3 meninggalkan dermaga pelabuhan Raijua. Dan beberapa puluh menit setelah itu, pelabuhan hanya terlihat seperti sebuah titik. Saya mulai terkantuk, mata saya sudah berat untuk dibuka. Setelah itu saya tak ingat apa-apa lagi sebelum dibangunkan oleh suara-suara ketika sampai di Pelabuhan Seba.(bersambung)