“Kami masyarakat desa ini pernah mengusulkan agar dibangun embung di bawah sana. Tetapi pemerintah nampaknya tidak merespon...” kata Yulius yang tiba-tiba, bersama Nando, sudah ada di dekat saya.
Yulius menunjuk ceruk besar sekitar 300 meter dari rumahnya. Ceruk besar yang mirip jurang tepatnya, tetapi masyarakat masih bercocok tanam di sana, meski tanahnya berbatu. Kata Yulius, jika itu bisa dibendung dijadikan embung, bisa menjadi sumber air bagi masyarakat di desanya, meski hanya mengandalkan air hujan.
Di beberapa tempat di Sabu maupun Raijua, embung-embung seperti ini sudah dibangun. Paling tidak, meski tak bertahan hingga puncak musim kemarau di bulan Oktober, tetapi tetap bisa menahan air hingga Juli atau Agustus. Padahal, kata Yulius, di tempat lain pembangunan embung banyak ditentang masyarakat sebelum akhirnya mereka sadar akan fungsi dan hasilnya dalam hal ketersediaan air. Di sini, justru masyarakat yang meminta dengan menyerahkan tanahnya.
“Jika embung itu dibangun, persoalan kekurangan air bisa diatasi, meski tidak sepanjang musim kemarau,” ujar Yulius mengeluh.
“Tak ada solusi lain soal air ini?” tanya saya.
“Tak ada. Curah hujan sangat rendah sehingga tanah tak lama menampung air,” timpal Nando.
“Itu terjadi juga di Sabu yang pulaunya agak besar. Apalagi di Raijua yang kecil. Mengebor air tanah, yang keluar air payau...” kata Nando lagi.
Kami ngobrol sambil berdiri di bekas tanaman sorgum, masih di belakang rumah.
“Bayangkan Bang, jika musim kemarau sedang di puncak, kami bahkan bisa tak mandi dalam seminggu. Istri saya ke sekolah untuk mengajar hanya mengelap badannya dengan kain basah. Begitu juga dengan saya, juga anak-anak saya yang mau ke sekolah,” timpal Yulius lagi.
Persoalan air memang menjadi masalah utama di sini, juga di hampir seluruh Pulau Sabu dan Raijua. Mereka memang perlu solusi kongrit agar bisa menikmati air bersih dan hidup yang lebih manusiawi di tanah berbatu karang yang tandus dan gersang ini.
Setelah berpamitan dengan ayah, istri, dan anak-anak Yulius, kami berjalan beriringan lewat jalan setapak tadi. Tetapi Yulius mengajak kami berbelok sebentar ke arah kiri, ke arah tanah berbatuan besar yang menurun. Dia ingin memperlihatkan sumur yang selama ini –terutama di musim hujan— menjadi satunya sumber air mereka. Hanya sebuah sumur kecil di bawah pepohonan. Tetapi ini menurut saya ajaib. Di dataran yang lebih tinggi tinggi yang tandus ini --padahal ada jurang di bawah yang diusulkan untuk dibuat embung itu-- ada sumur yang sumber airnya masih hidup hingga musim panas di bulan Mei ini. Memang terlihat kedalaman airnya tak sampai 25 cm, tetapi tetap ini sesuatu yang luar biasa menurut saya.
“Ini mungkin anugerah dari Tuhan. Cukuplah bagi kami untuk tetap bisa mandi, meskipun sangat minimalis, selain untuk kebutuhan memasak dan yang lainnya. Tapi sebulan lagi biasanya sudah kering, sumber airnya akan mati,” jelas Yulius.
Setelah itu kami berjalan kaki lagi menuju rumah tetangga jauh keluarga Yulius itu untuk mengambil motor. Kami akan kembali ke Ledeunu dengan formasi yang sama: saya dibonceng Nando dan Yulius meluncur sendirian di depan. Berbeda dengan saat perjalanan berangkat tadi, saat pulang rasanya lebih cepat.
Saat memasuki Desa Bolua, kami berhenti. Ada kerumunan. Banyak orang berkumpul melingkar. Yang terlihat adalah mereka yang berdiri di belakang, sedang di seberangnya terlihat banyak lelaki yang jongkok atau duduk. Banyak dari mereka yang memegang ayam jantan.
“Mereka sedang adu taji,” kata Nando.
Adu taji atau sabung ayam seperti tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sabu dan Raijua. Terutama bagi laki-laki. Pada upacara-upacara adat di semua kampung adat, sabung ayam menjadi salah satu ritual yang tak terpisahkan. Ada satu hari khusus yang memang digunakan menjadi ritual sabung ayam. Namun di hari-hari berikutnya sudah bukan bagian dari ritual lagi, tapi sudah menjadi kebiasaan yang tak terhubung dengan upacara adat. Sudah menjadi arena adu tadi “berisi”. Maksudnya, sudah melibatkan uang. Bagian dari perjudian. Bagi masyarakat di sini, ini menjadi hal yang biasa. Bahkan ada yang bilang, ikut adu taji merupakan bagian dari proses atau tetap “menjadi lelaki”.
“Di arena aju taji ini ada proses sosial. Ada proses saling mengenal sesama penduduk desa. Ada proses kekerabatan yang mungkin jarang ditemukan dalam acara lainnya,” kata Nando.