Setelah mengambil beberapa foto, kami melanjutkan perjalanan kembali. Sama seperti tadi, jalanan berbatu dan berdebu, menurun dan menanjak, lurus sebentar kemudian menikung, atau menanjak sekaligus menikung, adalah rute yang harus dilewati. Perjalanan ini harus dinikmati, karena dengan begitu kita akan merasa nyaman. Tanpa harus mengeluh, seperti semua penduduk di pulau ini yang sejak Indonesia merdeka hingga kini juga tak mau mengeluhkan keadaan ini.
“Jika kita mau jujur, di Raijua ini seperti bukan bagian dari Indonesia. Jika ini bagian dari Indonesia, pasti sejak zaman Orde Baru sudah dibangun, yang katanya punya konsep pembangunan adil dan merata itu. Tapi toh, hidup harus tetap dijalani, kan, Bang?” kata Nando.
Ada nada pesimis dan seperti putus asa. Tapi saya tahu, dan yakin, Nando adalah lelaki yang kuat dan bukan seorang yang pesimis dengan keluh kesah. Apa yang dilakukannya, seperti barusan yang kami datangi di Ledeke dengan Taman Bacaan GPS, adalah bukti bahwa dia seorang pejuang. Berjuang agar anak-anak mendapatkan ruang membaca, bermain, dan berekspresi.
Setelah perjalanan menembus jalan bebatuan yang berliku dan berdebu, kami akhirnya sampai di Taman Bacaan Harapan Turangga (Tabah Turangga) yang dikelola Yulius sejak 2017. Tabah Turangga menempati (istilah Yulius: meminjam) bangunan Posyandu. Terletak di pinggir jalan di Desa Bollu. Ada ruangan terbuka di depan dengan lantai keramik berwarna putih. Kata Yulius, di lantai itulah anak-anak dan siapapun yang datang bisa menggunakannya untuk tempat membaca.
Ada satu rak buku yang ditutup dengan kain. Jika ada pengunjung datang dan ingin membaca, rak itu dibuka. Isinya banyak sekali buku. Dari buku anak-anak, ensiklopedia, novel, sejarah, dan banyak lagi. Yulius kemudian mengajak saya masuk ke ruangan, persisnya gudang. Di sana ada puluhan kardus buku yang belum dibuka. Kiriman penerbit dan teman-temannya dari berbagai daerah di Indonesia.
“Kami belum punya uang untuk membuat rak lagi. Jadi buku-buku yang di kardus itu belum kami buka,” kata Yulius yang diiyakan oleh Linda Nadjo Keli yang kebetulan sedang berada di situ.
Di seberang bangunan itu ada pohon beringin besar yang sangat rindang. Di bawah beringin ada batu-batu yang bisa digunakan untuk duduk-duduk dan berdiskusi. Jumlah batu itu lumayan banyak. Jika datang angin semilir, suasananya sangat enak dan asri. Dari bawah pohon itu kita bisa memandang bukit-bukit tandus di berbagai arah dengan tanaman pohon lontar yang kontras. Bukit yang tandus dan kering dan pohon lontar yang menghijau.