PERJALANAN KE PULAU KARANG (10)

Mencari Jalan Keluar Kontradiksi Agama Samawi dan Kepercayaan Tradisional di Sabu

Feature | Kamis, 16 Januari 2020 - 15:45 WIB

Mencari Jalan Keluar Kontradiksi Agama Samawi dan Kepercayaan Tradisional di Sabu
Penulis (baju hitam bertopi coklat) bersama para tetua adat menjelang pembuatan dan pelarungan perahu dalam Upacara Hole di Pantai Napae, Seba, Sabu Raijua. (PEMKAB SABU RAIJUA FOR RIAUPOS.CO)

Selain kekayaan kebudayaan tradisional ini, kata Elo, Sabu Raijua merupakan gugusan pulau yang memiliki pemandangan yang indah dengan pantai-pantainya yang bersih. Katanya, jika saja pulau-pulau ini dekat dengan Jakarta atau Jawa dan tidak sejauh ini, bisa mengalahkan Bali atau Lombok. Sayangnya, hingga hari ini memang banyak turis yang enggan datang karena tempatnya jauh, dengan transportasi yang mahal dan lama.

“Bagi turis asing baik dari Benua Amerika, Eropa maupun Australia yang dingin, panas di Sabu justru membuat mereka suka. Tapi ya memang banyak yang harus dibenahi untuk memajukan pariwisata daerah ini...”


Dia ingin, suatu hari nanti, antara agama dan adat tradisional, termasuk kepercayaannya, akan berjalan dengan selaras seperti yang terjadi di Bali, Yogyakarta, Sumatra Barat, atau Aceh. Dia tak ingin mendengar di suatu hari nanti, misalnya, agama dianggap sebagai penghancur adat-istiadat tradisional masyarakat Sabu Raijua. Sebab, sebenarnya kepercayaan tradisional, Jingitiu, yang dipercaya masyarakat tradisional, pada hakikatnya sama dengan agama lain yang mengajarkan kebaikan. Dalam kepercayaan ini, seluruh kehidupan manusia di Sabu Raijua diatur dalam komposisi yang selaras dan sesuai dengan alam. Tidak boleh menghancurkan alam. Termasuk dalam hal bercocok tanam, pernikahan, dan kehidupan sosial lainnya.

“Saya berharap, budaya ritual tradisional tidak punah suatu saat nanti karena ada pertentangan dengan agama baru yang masuk ke Sabu seperti Protestan, Katolik, atau Islam. Saya juga tak ingin, yang tertinggal dan tetap hidup nanti hanya budaya tari-tarian saja. Atau tenun saja. Sedangkan budaya inti seperti ritual upacara tradisional itu akan punah. Juga agama tradisional Jingitiu. Semoga tidak terjadi,” ungkap Elo agak masygul.

Hari sudah malam. Angin terasa kencang di luar penginapan. Elo kemudian mohon pamit dan mengucapkan terima kasih saya mau mendengarkan ceritanya.

“Saya usahakan ketemu Anda hari ini, karena saya besok ada acara di Kupang,” ujarnya sambil berjalan ke parkiran, ke arah mobilnya yang diparkir di sana.

Saya menatap kepergiannya cukup lama hingga mobil yang dikendarainya tak terlihat lagi. Setelah itu saya duduk di kursi yang tadi menjadi tempat kami berbincang cukup lama. Saya terpikir dengan semua yang dijelaskannya, terutama kemungkinan akan punahnya adat-istiadat dan kepercayaan tradisional oleh agama. Padahal, adat-istiadat dan kepercayaan itu sudah dianut dan diyakini masyarakat tradisional secara turun-temurun selama ratusan hingga ribuan tahun.

Memang harus ada jalan keluarnya.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook