Karena sudah masuk waktu berbuka puasa, saya meminta diri dulu untuk minum dan salat Magrib. Dia tersadar. “Waduh, maaf, saya tadi terus merokok. Tidak apa-apa ya?” katanya sambil tersenyum. Saya bilang tidak apa-apa. Saya harus menghomati tamu. Setelah selesai, kami ngobrol lagi.
Kata Elo, di balik protes para pendeta itu, memang ada kontradiksi yang akan terus terjadi sampai kapan pun. Dia mengatakan ini persoalan sensitif, tetapi menurutnya semua orang sudah tahu dan harus dipahami bersama. Dijelaskannya, hampir seluruh penduduk Sabu Raijua adalah pemeluk agama.
Yang terbesar adalah Protestan –dia mengaku diri dia juga seorang Protestan-- yang presentasenya hampir 97 persen. Lalu ada Katolik sekitar 2 persen, dan Islam hampir 1 persen (data statistik tahun 2017, muslim di Sabu Raijua hanya 0,7 persen). Kata Elo, meski sudah beragama, banyak penduduk Sabu Raijua yang masih ikut kepercayaan Jingitiu. Tidak hanya kaum adat, tetapi juga masyarakat biasa.
“Di situlah kontradiksinya. Pihak gereja menganggap prosesi upacara-upacara tradisional, seperti Hole, yang merupakan upacara untuk menjelaskan rasa syukur kepada alam, sebagai kegiatan yang tidak cocok dengan agama. Kegiatan animisme itu dianggap sebagai penyembahan terhadap berhala. Mungkin kalau dalam Islam disebut syirik, ya?” kata Elo.
Namun dia berharap, kontradiksi itu tidak diperlebar atau diperpanjang. Harus dicarikan jalan tengahnya agar tetap sama-sama berjalan. Menyelaraskan agama dengan budaya agar tidak saling bertentangan. Dia pernah mengusulkan, bagaimana agar keselarasan itu terjadi, misalnya kalangan gereja ikut melestarikan nilai-nilai tradisional masyarat, terutama dalam bidang tenun. Salah satunya adalah para pendeta dan kaum agama menggunakan jas yang terbuat dari tenun khas Sabu.
Hal mana yang telah dilakukan oleh Pemkab Sabu Raijua yang mewajibkan para ASN-nya memakai pakaian khas daerah dari tenun Sabu itu pada hari Sabtu. Juga beberapa sekolah yang mewajibkan siswa-siswinya memakai pakaian tradisional khas Sabu pada hari-hari tertentu. Seperti di SMP N 1 Sabu Barat yang setiap tanggal 20 setiap bulannya seluruh siswa diwajibkan memakai pakaian tenun khas Sabu.
“Apa yang dilakukan oleh SMP N 1 Sabu Barat itu harus didukung dan diapresiasi, dan mestinya diikuti sekolah lain. Selain melestarikan salah satu budaya tradisional, juga membantu para pengrajin tenun di daerah ini menemukan pasarnya,” kata Elo.
Sebenarnya dari sisi pariwisata, upacara-upacara ini punya potensi tinggi untuk mendatangkan wisatawan atau turis. Jika di Bali dan Yogyakarta atau daerah lainnya mereka mengadakan upacara adat tradisional untuk melayani turis yang ingin tahu kegiatan adat tradisional di sana, di Sabu Raijua, justru upacara-upacara adat tradisional itu sudah memiliki kalender tetap setiap tahunnya. Ada atau tak ada turis, upacara-upacara tersebut tetap ada, yakni pada bulan April hingga Mei setiap tahunnya. Ada enam wilayah adat yang upacaranya berbeda-beda hari dan tanggalnya.