PERJALANAN KE PULAU KARANG (7)

Adat, Tenun, dan Tantangan ke Depan Masyarakat Sabu Raijua

Feature | Senin, 13 Januari 2020 - 13:06 WIB

Adat, Tenun, dan Tantangan ke Depan Masyarakat Sabu Raijua
Siswa-siswi SMPN 1 Sabu Barat mengadakan pertunjukan tari tradisional Sabu. Tari-tarian dengan pakaian adat tradisional ini menjadi ekstra kurikuler di sekolah tersebut. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Masyarakat percaya bahwa mendengar bunyi pepa’u aru ini, belalang takut dan kemudian menjauh. Tarian ini kemudian dibuat secara rutin setahun sekali sebagai lambang kegembiraan para petani menyambut panen, yaitu sebelum upacara adat Pahere Jara di Bodo. Menurut Dorkas, dalam pekembangannya sekarang, tarian ini sudah dikemas sebagai tarian yang dipakai setiap kali dibutuhkan, misalnya untuk menyambut tamu di Sabu, juga dilombakan dalam berbagai festival seni dan budaya di Sabu.

 Lalu tarian Haba Ko’o Rai. Tarian ini sebagai gambaran kehidupan para petani yang ada di Pulau Sabu. Setiap gerakannya menirukan kegiatan para petani yang memiliki arti masing-masing. Misalnya saat petani menyiapkan lahan, menyiapkan bibit, membersihkan lahan, mencangkul, menanam bibit, membersihkan gulma, memanen hasil, membersihkan hasil panen, hingga menyimpan hasil panen tersebut di hoka (lumbung). Dalam tarian ini, beberapa peralatan yang dibutuhkan adalah kerigi dai (nyiru) yang digunakan untuk menapis (dae), memisahkan (heroge) sorgum yang baik dan yang tak berisi, dan memisahkan sorgum yang kecil (kerunu) dan yang utuh (lamuhi).


Lalu ada tob’o, yang digunakan untuk menyimpan sorgum yang bagus setelah ditapis tadi. Sedangkan kostum yang dipakai yakni Ei Hawu (sarung Sabu) dipakai secara habbu kodo (setengah badan) untuk penari putri. Kemudian ada asesoris berupa labba (mahkota) yang dibuat dari pucuk daun lontar, kemudian wudu (kalung) yang terdiri dari wonahid’a dan wonahob’o. Dan yang terakhir adalah lale kae (gelang) yang dibuat dari pucuk daun lontar. Sama seperti tari Papa’u Aru, tari Haba Ko’o Rai ini juga sudah dimodernisasi sebagai tari kreasi yang ditampilkan dalam festival-festival kesenian dan kebudayaan, termasuk untuk penyambutan tamu penting.

“Kami ingin menanamkan kecintaan terhadap nilai-nilai leluluhur kepada para siswa agar mereka selalu ingat akan kebaikan-kebaikan yang disampaikan secara tersirat dalam tari-tarian tersebut,” jelas Dorkas.

Tarian ketiga adalah Ledo Hawu. Ini tarian yang berumur sangat tua. Bagi masyararakat Sabu di zaman dulu, ini merupakan tarian yang ditampilkan saat upacara kematian pada kaum tertentu seperti para bangsawan kerajaan, tokoh adat, maupun kepala suku. Tarian ini dianggap sakral sehingga hanya dilakukan oleh penari dari suku tertentu yang mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat Sabu. Tujuan dari tari ini adalah untuk mengusir roh-roh jahat (tolak bala) dan mengantarkan arwah yang meninggal menuju peristirahatan abadi. Selain itu, kata Dorkas, tari ini juga dimaksudkan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan agar tidak berlarut dalam duka dan kesedihan.

Namun seiring perkembangan zaman dan perjalanan waktu, tarian ini kini tidak hanya dilakukan oleh penari dari kasta tertinggi masyarakat dan dalam upacara adat saja, tetapi juga dipelajari dan ditampilkan oleh masyarakat kebanyakan dalam berbagai acara resmi maupun acara festival budaya.

Dalam penampilannya, tari  Ledo Hawu biasanya ditampilkan secara berkelompok atau berpasangan antara penari pria dan wanita. Jumlah penari per kelompok biasanya 3-5 orang (satu kelompok pria dan satu kelompok wanita). Ketika menari, diiringi alunan musik tradisional seperti tambur (dare) dan gong (namangngu). Mereka menari dengan ritme gerakan yang sudah diatur dan masing-masing memiliki makna. Pada penari pria  terdapat jenis gerakan seperti ede, gedhe, gigi, dan pejuru. Untuk wanita, ada gerakan launada, beto, here, peidoi, dan gepe. Setiap jenis gerakan itu mewakili  setiap babak pertunjukan. Tetapi dalam perkembangan di era modern ini, ada konsep dan variasi yang tidak sama yang dikembangkan, tetapi tetap tidak lari dari konsep awal tarian.

 Saat pertunjukan, para penari berpakain adat Sabu. Untuk penari pria mereka memakai kain khas yang disebut higi huri yang dikenakan menutupi bagian perut hingga lutut dan digunakan untuk selempang. Bagian kepala memakai dastar atau willa hipora. Mereka juga memakai giring-giring  (walagiri), pedang (hamala) dan saputangan di tangan kiri. Untuk penari wanita, mereka menggunakan kain khas Sabu untuk wanita (ei) yang diikatkan sebatas dada dan menutupi kaki. Kemudian rambutnya dikonde khas suku Sabu dan dihiasi dengan labba. Mereka juga memakai kalung (habas), anting (ate-ate), gelang (lele), dan ikat pinggang (pending). (bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook