PERJALANAN KE PULAU KARANG (7)

Adat, Tenun, dan Tantangan ke Depan Masyarakat Sabu Raijua

Feature | Senin, 13 Januari 2020 - 13:06 WIB

Adat, Tenun, dan Tantangan ke Depan Masyarakat Sabu Raijua
Siswa-siswi SMPN 1 Sabu Barat mengadakan pertunjukan tari tradisional Sabu. Tari-tarian dengan pakaian adat tradisional ini menjadi ekstra kurikuler di sekolah tersebut. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Tetapi, lama-lama dan pelan-pelan, ia memberikan pemahaman kepada mereka bahwa apa yang diputuskannya itu penting bagi masyarakat Sabu, terutama agar nilai-nilai kebudayaan tradisional mereka bisa menurun ke anak-anak dan terus terpelihara. Meski itu hanya tari-tarian dan kain tenun tradisional. Ia juga berpikir, para pengrajin tenun ikat juga akan dapat rezeki dari apa yang mereka tekuni. Para pengrajin itu kesulitan pemasaran. Sebab, tak banyaknya wisatawan dari luar Sabu, membuat kain-kain tenun mereka juga tak banyak yang terjual. Beruntung masyarakat Sabu masih memakai tenun ikat itu di acara-cara penting dan tradisional, misalnya acara kematian, pesta pernikahan, dan sebagainya, yang “mewajibkan” mereka yang datang menggunakan kain tenun ikat. Minimal memakai selendang atau syal tenun ikat.

 “Ketika mereka protes, apa yang Ibu lakukan?” tanya saya.


 “Saya tetap pada keputusan saya. Banyak yang protes langsung dan protes yang disampaikan lewat siswa. Tetapi saya jelaskan bahwa ini penting bagi kita semua,” jawabnya.

 “Ada yang benar-benar tak mau membelikan anaknya kain tenun ikat itu?”

 “Tidak ada. Sekarang semuanya sudah memakainya di setiap tanggal 20...”

 “Merasa misi Ibu berhasil?”

 “Belum. Saya inginnya semua sekolah di Sabu Raijua melakukan hal yang sama. Tetapi sekarang saya senang karena beberapa sekolah sudah mengikuti kami,” kata ia lagi.

Tak terasa, kami sudah sampai Seba, di SMP N 1 Sabu Barat. Saya parkir di halaman dalam. Banyak siswa-siswi yang sudah datang dengan pakaian adat. Yang akan menari, mereka berdandan. Gadis-gadis kecil yang cantik dengan kulit sawo matang. Juga anak-anak yang ganteng yang terlihat kuat pada tubuhnya. Mereka kebanyakan jalan kaki beberapa kilometer dari rumahnya untuk sampai di sekolah. Sebuah perjuangan yang jika diteruskan hasilnya  tak akan pernah mengkhianati perjuangan itu.

 Mereka kemudian berkumpul di dalam sebuah ruangan besar yang digunakan sebagai aula atau ruangan serbaguna. Setelah melakukan persiapan beberapa lama, anak-anak itu  kemudian menampilkan empat tari tradisional Sabu. Keempat tari-tarian itu adalah tarian Pepa’u Aru, Haba Ko’o Rai, Padoa, dan Ledo Hawu. Keempat tarian ini memiliki makna masing-masing seputar kehidupan masyarakat di Pulau Sabu.

Tari Papa’u Aru misalnya, dirunut pada zaman sebelum Sabu memiliki seorang raja dan masih diperintah oleh sekelompok Mone Ama. Suatu hari saat musim bercocok tanam, penduduk Sabu bingung karena tanaman yang produktif seperti lontar, kelapa dan tanaman pertanian lainnya rusak. Semua itu karena ada hama, yakni ikan terbang yang datang dari laut. Ikan-kan tersebut naik ke darat yang kemudian menjelma menjadi belalang. Belalang ini merusak semua tanaman pertanian dan kehidupan Sabu. Kemudian Mone Ama berpikir bagaimana mengusir belalang-belalang jelmaan ikan terbang tersebut. Mereka kemudian membuat keramaian pepa’u aru agar para belalang tersebut berubah wujud menjadi ikan terbang dan kembali ke laut.          









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook