PETUALANGAN KE PULAU KARANG (3)

Dapat Nama Kehormatan Adat Sabu dan Rebutan Makanan dengan Semut

Feature | Kamis, 09 Januari 2020 - 13:24 WIB

Dapat Nama Kehormatan Adat Sabu dan Rebutan Makanan dengan Semut
Asisten I Bidang Kesejahteraan Masyarakat Kabupatan Sabu Raijua, Septenus Bule Logo (dua dari kiri) berfoto bersama rombongan dari Badan Pembinaan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang dipimpin Dr Sastri Sunarti (ketiga dari kanan). (HUMAS PEMKAB SABU RAIJUA FOR RIAUPOS.CO)

Yang terjadi kemudian, saya memang harus pergi ke Seba setiap sore untuk tiga hal. Pertama, makan berbuka puasa dan sekaligus membeli nasi untuk sahur, dan salat Tarawih. Untuk yang terakhir itu, kadang tak terlaksana. Karena di Seba tak banyak rumah makan –hanya ada dua rumah makan pecel lele, satu ikan bakar laut, dua nasi goreng, dan dua warung bakso--  maka saya harus pintar-pintar menjaga selera agar selera tak macet. Setelah hampir sepuluh hari puasa, akhirnya saya memilih setiap sore waktu berbuka makan bakso telur atau mie ayam telur, dan sahurnya baru makan nasi. Gantian, nasi ikan bakar atau ayam pecel.

Namun ada kejadian yang sebenarnya malu saya ceritakan di sini. Dua kejadian yang membuat saya sedih sekaligus agak lucu, namun menjengkelkan. Di hari pertama puasa, saya membeli nasi ikan bakar sore hari dan karena banyak semut kecil di meja penginapan, akhirnya nasi dalam plastik itu saya gantung di sebelah gantungan baju. Tapi ternyata. Oh Tuhan! Saat saya membuka nasi yang dibungkus kertas berlapis plastik warna krem itu, ternyata semut-semut kecil itu sudah masuk ke dalam nasi dan ikan bakar. Jumlahnya ratusan. Banyak sekali. Saya sedih. Saya harus makan apa? Akhirnya hari itu saya sahur makan pisang yang saya beli sore hari.


Keesokan harinya, kejadian itu terulang lagi. Kali ini nasi dalam plastik itu sudah saya gantung di gantungan gorden. Rasanya aman. Tapi hal yang sama terjadi. Ternyata semut-semut itu tetap mengejarnya. Sama seperti malam sebelumnya, saya hanya makan pisang dan minum teh. Malam berikutnya saya tak bisa toleransi lagi, terpaksa membasmi semut-semut itu dengan semprot one push. Duh! Tak tega sebenarnya.

***

PAGI Jumat, 3 Mei 2019, kami dijemput oleh Bang Brother untuk mengikuti acara pengenalan dan penyerahan saya sebagai peserta sastrawan yang akan melakukan residensi di Sabu Raijua. Acara diadakan di aula Kantor Dinas PPO di Menia. Ketika baru sampai di ruangan, saya memilih duduk di kursi belakang. Acara belum dimulai, menunggu Asisten I Bidang Kesejahteraan Masyarakat, Septenus Bule Logo. Tiba-tiba, seorang lelaki mendekati saya. Wajah dan kulitnya berbeda dari rata-rata lelaki Sabu pada umumnya yang sawo matangnya lebih pekat. Kulitnya agak kuning.

 “Saya Petrus Pe Mano,” katanya memperkenalkan diri. “Saya Kepala Sekolah SMA N 1 Sabu Tengah,” katanya lagi.

 Kami bersalaman. Dan tiba-tiba, dia merangkul saya dan mengajak “cium tempel hidung”. Bahasa Sabunya henge’do. Saya agak kikuk karena memang baru ini pertama kali melakukan hal tersebut. Lalu dia bilang, “Tidak semua tamu yang datang ke sini kami ajak cium tempel hidung ini. Hanya orang yang kami percayai dan sudah kami anggap saudara yang kami ajak seperti itu.”  









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook