"Jika kita mau jujur, Raijua ini seperti bukan bagian dari Indonesia. Jika ini bagian dari Indonesia, pasti sejak zaman Orde Baru sudah dibangun, yang katanya punya konsep pembangunan adil dan merata itu..."
Oleh Hary B Koriun
“PEGANGAN yang agak kencang, Bang,” kata Nando ketika kami sudah keluar dari Desa Ledeke.
Yulius sudah lebih dulu dengan kecepatan yang lebih dibanding motor yang kami tumpangi berdua. Maklumlah, selain berkendara sendirian, ini adalah kampungnya. Dia lahir dan besar di Raijua, jadi mungkin tahu setiap lubang yang bisa dihindari ban motornya.
“Sambil pejam mata saja dia bisa,” ujar Nando bergurau.
Saya ikut tertawa sambil merasakan ngeri-ngeri sedap di sadel belakang. Maklumlah, kami tak lagi berada di jalanan beraspal. Semuanya berbatu campur tanah. Bahkan ada di beberapa bagian batunya terlihat tajam. Bisa dibayangkan jika kami jatuh. Bisa robek-robok kulit ini. Tetapi, meski baru setahun tinggal di pulau ini, Nando seorang pengendara yang bisa diandalkan. Seperti saat perjalanan menuju Ledeke sebelumnya, dia tetap bisa mencari jalan yang bisa dilewati senyaman mungkin.
“Lihatlah betapa indahnya pulau ini, Bang. Tapi di balik keindahan ini, masyarakat harus bekerja keras untuk hidup...”
Terdengar lamat-lamat suara Nando yang bercampur dengan suara motor dan desiran angin yang mulai berhembus. Di kanan-kiri terlihat rumah-rumah asli penduduk, yang meskipun jarang-jarang, tapi terlihat rapi. Pohon-pohon lontar penghasil gula curah dan gula semut, juga terlihat berbaris. Ada yang terkumpul dengan jumlah puluhan pohon di sebuah kawasan, ada juga yang tumbuh satu-satu dengan jarak lumayan jauh antara satu dengan lainnya. Di bawah pohon-pohon lontar itu, di tanah yang juga terlihat kering, gersang, dan berbatu, masih terlihat tanaman sorgum atau jagung yang sudah mulai kering. Menguning.
Namun, satu yang selalu terlihat di tanah ini: alam yang gersang dan cadas. Sepanjang perjalanan sejak dari Ledeunu tadi, baik terlihat dari dekat atau dari kejauhan, batu-batu karang dalam ukuran kecil atau besar terlihat di tanah-tanah Raijua ini. Padang savana yang mestinya penuh dengan rumput menghijau, di sini –juga di Sabu— banyak terlihat batu-batu karang yang menyembul di antara rumput-rumput yang mulai menguning. Beberapa hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, atau kuda, dengan asyik tetap memamah rumput kering itu dengan santai di bawah terik matahari sore yang tetap menyengat.
Nando terus memutar gas motornya, dan sesekali menginjak rem ketika ada lubang atau batu besar yang menghadang. Setelah beberapa ratus meter memasuki Desa Bolua, di sebuah pendakian, dia menghentikan laju kendaraanya. Dia kemudian menunjuk ke arah kiri, ke sebuah tanah yang agak tinggi, terlihat gersang.
“Itu Kampung Adat dan Megalitik Nadega,” kata Nando. “Di situ Deo Rai Nadega, Nyale Dea dari Udu Nadega, tinggal setiap hari.”