Kedatangan agama samawi ke Sabu Raijua, ada sedikit kontradisksi dengan masyarakat adat yang masih melakukan ritual-ritual dan upacara tradisional. Termasuk dengan agama animisme Jingitiu yang masih dianut masyarakat. Harus ada jalan tengah agar bisa sama-sama berkembang.
Oleh Hary B Koriun
DI SUATU sore, pada Kamis, 16 Mei 2019, Elo Humalado datang ke penginapan saya. Lelaki berperawakan tinggi berbadan agak kurus ini sebelumnya sudah menghubungi Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan Kepemudaan dan Olahraga Sabu Raijua, Drs I Putu Sudiarta. Katanya kepada Putu Sudiarta, dia minta maaf karena tak bisa datang pada acara perkenalan dan penyerahan saya sebagai sastrawan dalam Program 3 T ini kepada Pemkab Sabu Raijua, 2 Mei 2019. Waktu itu dia berada di Kupang.
Maka, untuk membantu saya mendapatkan data dan masukan dari sisi budaya, dia menyisihkan waktunya untuk bertemu dan ngobrol dengan saya. Tentu saya sangat senang sekali ada salah seorang tokoh adat yang bersedia memberikan waktunya untuk memberi bahan dan masukan.
Kami ngobrol di teras penginapan, di depan kamar saya. Selama ngobrol, dia tak putus mengisap rokok Djie Sam Soe-nya. Setelah habis sebatang, disambung dengan batang berikutnya.
“Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya mengawali obrolan.
Sambil tersenyum, saya balas bertanya, “Mungkin Bapak bisa membantu saya sesuai latar belakang Bapak...”
Saat ini, Elo adalah anggota DPRD Sabu Raijua dari Partai Golkar. Dia berada di Komisi III yang membawahi Bidang Pendidikan, Kebudayaa, dan Pariwisata. Namun dalam Pemilu 2019 pada April, dia tak terpilih lagi. Namun, katanya, itu tak jadi masalah. Dia bisa mengabdi di banyak tempat, termasuk bekerja bagi pengembangan kebudayaan di Sabu Raijua. Dia pernah bekerja lama di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sabu Raijua, juga di Dinas Pariwisata. Lelaki kelahiran 5 Maret 1957 di Seba, ini, lalu bercerita tentang banyak hal. Termasuk tantangan dan masa depan adat tradisional Sabu Raijua.
Elo menamatkan SMP di SMP 1 Sabu (sekarang SMP N 1 Sabu Barat) tahun 1975 sebelum kemudian menamatkan STM di Kupang pada 1977. Setelah itu dia mendapat tugas belajar di IKIP Malang selama dua tahun, 1978-1979. Sepulang dari Malang, Elo kemudian mengabdi di beberapa sekolah hingga akhirnya mengajar di SMP N 1 Sabu Barat sampai 2009. Di tahun itu dia diangkat sebagai Kepala Bidang Kebudayaan di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan ketika Sabu Raijua mekar menjadi kabupaten tersendiri lepas dari Kabupaten Kupang.
Saat di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan itu, salah satu yang dilakukan Elo adalah pengangkatan penjaga situs megalitik dan kampung adat dan rumah adat di enam wilayah adat di Sabu Raijua. Mone Ama (dewan adat) di masing-masing adat diberi insentif setiap bulannya. Apa yang dilakukan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan ini mendapat dukungan penuh dari masyarakat adat. Ini merupakan salah satu upaya pelestarian budaya dan benda-benda tradisional agar tetap terawat dan terjaga, dan tak hilang ditelan zaman. Namun, kalangan pendeta di gereja ada yang protes. Mereka bertanya, kalau para tetua adat itu diberi insentif, mengapa para pendeta di gereja tidak?
“Jawaban kami sederhana saja. Para pemangku adat yang melestarikan nilai-nilai budaya tradisional itu tak punya penghasilan karena mereka fokus sebagai penjaga adat. Sedangkan para pendeta mendapat bantuan, honor, atau gaji, atau apalah namanya dari hirarki atau yayasan gereja mereka. Misalnya mereka yang hirarkinya di bawah GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor), mendapat insentif dari yayasan gereja tersebut,” ujar Elo, masih sambil mengisap rokok kreteknya.