DOKTOR Bambang Kariyawan Ys menjelaskan tentang bagaimana dia sekarang mengelola rubrik sastra daring di media Tirastime.com. Di media yang didirikan oleh Fakhrunas dibantu Husnu Abadi itu, Bambang menjadi seorang editor/kurator. Dia menyeleksi naskah cerpen, puisi, dan esai sastra yang kemudian dimuatnya dengan tiga kategori. Kategori pemula dimasukkannya ke bagian “Pucuk Kata”; penulis yang lumayan matang dimasukkan ke bagian “Perahu Kata”; dan penulis yang sudah berpengalaman atau senior dimasukkan ke bagian “Samudra Kata”. Kepala SMA Cendana Rumbai ini merasakan ada geliat penulisan di Riau dari banyaknya naskah yang dikirimkan.
“Digitalisme membuat semuanya mudah, dan saya merasakan itu saat mengelola rubrik sastra di Tirastime. Banyak nama baru yang muncul,” ujarnya.
Tentang penerbitan buku sastra masa kini, Siti Salmah menjelaskan bahwa banyak penulis muda di Riau maupun Indonesia secara luas, yang –dari sisi usia maupun pencapaian—yang memilih menerbitkan karyanya dalam bentu buku. Salah satunya untuk membangun eksistensi kepenulisannya. Salmah Publishing yang dikelolanya banyak membantu mereka dalam hal ini. Tidak hanya dari Riau, mereka ada yang dari Sumatra Barat, Lampung, bahkan beberapa daerah di Jawa. Sejak berdiri 2019 hingga kini, penerbitan Salmah sudah menerbitkan lebih 150 judul buku yang 90 persennya adalah buku sastra.
“Kami hanya menerbitkan. Untuk pemasaran, karena tak dicetak banyak, para penulis sudah punya lingkaran pasar sendiri, baik itu teman-temannya, atau siswa-siswanya jika mereka guru,” jelas Siti.
Marlina lain lagi ceritanya. Penulis novel dengan nama pena Naya R ini menulis novel berawal dari ikut Komunitas Bisa Menulis (KBM) di media sosial –dan sekarang sudah ada aplikasinya-- yang dikembangkan oleh suami istri Isa Alamsyah dan Asma Nadia. Di sana dia mengunggah novelnya, hanya separoh jadi, sehingga membuat pembaca penasaran. Setelah itu dia mengarahkan agar para pembaca yang penasaran tersebut membeli novel cetaknya yang semua dikerjakan sendiri dan bekerja sama dengan sebuah penerbit di Cirebon. Yang menarik, awalnya dia hanya mencetak 500 eksemplar. Namun kemudian banyak pembaca yang ingin membelinya hingga beberapa novel awalnya bisa laku lebih 3000 per judul. Ini tentu jumlah yang tidak kecil bagi penulis pemula dan dijual secara daring.
“Belakangan saya menjual e-book juga selain cetak. Pembaca saya tersebar di seluruh Indonesia, bahkan ada yang tinggal di Amerika, Thailand, Hongong, Qatar, dll, yang hanya bisa menjangkau e-book-nya,” jelas perempuan yang dipanggil Ilin ini.
Apa yang disampaikan para peserta diskusi itu, menurut Wannofri, sangat menarik. Sebab terlihat bagaimana upaya para sastrawan yang berusaha menghidupkan media budaya maupun penerbitan dan penciptaan karya yang tidak mudah.
“Dari pemaparan mereka, upaya yang mereka lakukan itu adalah salah satu cara menjaga identitas Melayu baik dalam model penerbitan media budaya maupun proses penulisan karyanya,” ungkap Wannofri.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru