ZUARMAN Ahmad --mantan redaktur majalah sastra Sagang yang bekerja bersama Hasan Junus (pemimpin redaksi) dan Dantje S Moeis (illustrator)-- menceritakan bagaimana di masa lalu mempertahankan majalah tersebut yang secara pendanaan sebenarnya sudah aman karena didanai oleh Riau Pos. Namun kesulitan ada pada pemasaran. Dengan cetakan 1000 eksemplar per terbit, majalah bulanan itu tetap tak bisa mandiri. Untuk naskah, banyak penulis yang mengirimkan karya sehingga para editornya tak kesulitan mendapatkan karya yang baik di setiap edisinya. Majalah Sagang menjadi satu-satunya majalah sastra/budaya yang berumur cukup panjang di Riau, yakni 20 tahun (1998-2018).
“Media budaya perlu kehadiran pemerintah, baik Dinas Kebudayaan maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk tingkat nasional. Jika tidak, dia tidak akan berumur panjang. Majalah Sagang beruntung karena mendapat dukungan dana dari Riau Pos dan salah satu Perusahaan besar di Riau,” ujar Zuarman.
Pada bagian lain, satrawan Fakhrunas MA Jabbar menjelaskan bahwa sebelum era majalah Sagang, di Riau sudah terbit majalah Kebayan yang diasuh oleh sastrawan BM Syam di tahun 1980-an. BM Syam juga andil ketika bersama Soewardi MS menerbitkan majalah Canang. Bahkan ketika dia menangani majalah Bhayangkara terbitan Polda Riau, BM Syam juga menyediakan ruang sastra, cerpen dan puisi. Di saat Riau belum memiliki media harian, banyak penulis Riau, termasuk dirinya, Husnu Abadi, Taufik Ikram Jamil, Ediruslan PE Amanriza, dan lainnya, “menyerbu” koran-koran Sumatra Barat, seperti Haluan (manajemen lama), atau koran Sumatra Utara seperti Waspada, Sentana, Analisa, dll, selain media terbitan Jakarta.
Kondisi itu berubah ketika Riau Pos terbit pada tahun 1991 dan membuka rubrik sastra bernama “Sagang” yang menjadi benih lahirnya majalah Sagang. Lalu setelah itu muncul koran harian lain seperti Suara Kita/Suara Riau dan Riau Mandiri/Haluan Riau, atau Koran Riau, yang juga menyediakan rubrik sastra, yang membuat ruang menulis sastra bagi penulis Riau semakin terbuka.
Sementara itu, Husnu Abadi menjelaskan bagaiman sulitnya generasinya di tahun 1980-an di Riau dalam menerbitkan karya sastra, baik di media atau dalam bentuk buku. Seperti dijelaskan Fakhrunas sebelumnya, para penulis Riau harus melakukan “eksodus” ke luar Riau karena tak ada media harian di Riau, media budaya juga jarang. Hal itulah kemudian yang mendorong Prof Dr Muchtar Ahmad –yang kemudian menjadi Rektor Universitas Riau (Unri)— menginisiasi lahirnya penerbitan buku UIR Press –dan juga Unri Press. Husnu dan Fakhrunas terlibat di dalamnya. Husnu pernah menjadi direkturnya, dan kini Fakhrunas yang menjadi nahkodanya.
Kehadiran UIR Press sangat membantu banyak penulis buku di Riau, antara lain Hasan Junus dan UU Hamidy. Buku Hasan Junus, yakni Raja Ali Haji Budayawan Abad XX yang terbit pada 1994, mendapatkan penghargaan sebagai Buku Terbaik Anugerah Sagang 1996. Husnu juga membidani lahirnya organisasi Badan Kerjasama Kesenian Indonesia (BKKI) yang menerbitkan puluhan buku sastra.
“Di masa itu serbasulit. Sebelum ada UIR Press, kami menerbitkan buku dengan stensilan. Itu banyak dilakukan oleh penulis Riau ketika itu,” jelas Husnu.
***