Buku, kata Guenther Weisenborn (1902-1969), adalah monumen paling berharga bagi manusia. Buku mengandung ilmu, wawasan, dan pengetahuan. Melalui buku, ujar Komaruddin Hidayat (2010), manusia dapat menelusuri titian-titian pemikiran, imajinasi, hingga kontemplasi manusia-manusia yang hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Banyak hal didapatkan dari buku sampai-sampai Barbara Tuchman (1912-1989) berani mengatakan bahwa buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, dan mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. Buku mampu menjadikan manusia berpikiran maju dan memiliki cakrawala luas. Buku sebagai jendela dunia pun dibuka dan dihayati Immanuel Kant (1724-1804). Seumur hayatnya, filsuf asal Jerman itu konon belum pernah melihat gunung dan lautan. Tatapan mata Kant tak melampaui kota kecilnya di Konigsberg, Jerman. Hanya melihat dunia dari buku, konon Kant mampu memberikan kuliah-kuliah geografi dengan penggambaran yang begitu ”hidup”. Para pendengarnya mampu memvisualisasikan tempat-tempat yang dipaparkan Kant.
Dengan buku, Soekarno (1901-1970), presiden pertama Indonesia, pun merasakan hiburan di dalam ilmu, di dalam pengetahuan, di dalam alamnya akal dan batin. ”…aku meninggalkan dunia yang fana ini masuk ke dalam dunia yang lebih abadi, lebih besar, lebih mulia, lebih berisi yaitu alamnya ilmu, alamnya akal, alamnya batin, alam yang oleh orang Inggris dinamakan the world of mind,” ujar Bung Karno menceritakan masa mudanya. Dengan membaca buku, beliau bisa bersua dengan tokoh-tokoh dunia yang jasadnya telah tiada. Dengan tokoh dunia yang masih hidup di zamannya, Bung Karno telah bersua lewat buku sebelum bersua secara fisik. Lewat buku, Bung Karno membaca sejarah hidup dan pemikiran tokoh-tokoh dunia dan merasa sebagai warga negara dunia (citizen of the world).
Melekatnya Bung Karno dengan buku tak pernah pudar sampai usia tua. Begitu pula dengan Mohammad Hatta (1902-1980), wakil presiden Indonesia pertama. Beliau seolah-olah tak bisa dipisahkan dari buku. Saat menempuh studi maupun diasingkan Belanda ke berbagai tempat, beliau senantiasa membawa peti-peti berisi buku. Ada sekitar 16 peti berisi buku yang dibawa Bung Hatta saat diasingkan ke Banda Neira dan kemudian ke Boven Digoel. Koleksi bukunya terus bertambah. Dari buku-buku yang dimiliki, kenang putrinya Meutia Hatta, semuanya dibaca. Karena menganggap buku lebih berharga sebagai tanda cinta, buku pun dijadikan Bung Hatta sebagai mas kawin saat menikahi Rahmi Rachim. Menurut Bung Hatta, buku lebih berharga sebagai tanda cinta ketimbang harta benda lainnya. Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Buya HAMKA, Kartini, dan tokoh bangsa masa silam lainnya juga intim dengan buku.
Tak terkecuali dengan Rosihan Anwar (1922-2011). Dengan membaca buku, wartawan empat zaman itu bisa mempelajari berbagai hal secara otodidak. Azyumardi Azra yang dikenal sebagai salah satu sosok cendekiawan berpengaruh di Indonesia juga tak terlepas daridunia buku. Rak-rak berisi buku-buku terdapat di rumah maupun kantornya. Stephen R. Covey, penulis buku 7 Habits of Highly Effective People, juga tak letih membaca buku meskipun usianya 70 tahun lebih. Di rumah salah satu dari 25 tokoh berpengaruh di Amerika Serikat versi Majalah Time itu, tumpukan buku ada di mana-mana, bahkan di samping bak mandi (Kevin Hall: 2009). Begitu pula dengan A. Syafi’i Ma’arif yang tekun membaca buku. ”Hanya kebiasaan membaca Ayah yang sampai setua ini telah saya warisi. Dengan hanya berbekal Sekolah Rakyat (SR), pengetahuan Ayah di atas rata-rata orang desa,” ujar beliau (2011).
Manfaat buku bagi manusia tak hanya menambah ilmu, wawasan, dan pengetahuan, tetapi juga manfaat lainnya. Ali Syari’ati pernah mengatakan, ”Buku adalah makanan bagi jiwa dan pikiran. Buku juga bagaikan obat bagi penyakit yang mendera perasaan dan pikiran manusia.”Banyak manusia mendapatkan inspirasi untuk hidup lebih bergairah dan bermakna lewat berbagai buku yang diselaminya. Dengan membaca buku, manusia-manusia bisa meluaskan wawasan dan pemikirannya, sehingga tidak berpikiran dan berpandangan sempit. Buku bisa menciptakan perubahan-perubahan dan menggerakkan zaman.
Membaca buku tentu bukanlah laku untuk membuang-buang waktu, tetapi untuk mengisi waktu agar lebih bermanfaat. Benar kata Jaya Suprana (1997) bahwa yang utama adalah mengerti makna isi sebuah buku yang kemudian didayagunakan untuk suatu langkah karsa dan karya nyata produktif dan konstruktif. Buku yang berkualitas mampu membangun kehidupan lebih bermakna bagi manusia-manusia yang membacanya.