Keledai yang berkandang di pustaka, tak kan pernah jadi terpelajar. Maka, manusia tak harus berhubungan dengan orang baik. Sebab, kebaikan itu sendiri bersifat niskala, walau niscaya. Tumpukan buku di pustaka adalah “ihwal’ tentang yang ‘baik’ (walau ada kisah buruk, tapi tetap disalin dalam jempana dengan huruf “b” kecil. Bukan “B” besar). Sebaliknya manusia harus berhubungan atau terhubung dengan “bentuk” yang memungkinkan mengubah fungsinya dan membuatnya menjadi baik (ahsan).
Di sini, manusia mencoba mempraktikkan etika dan pengembangan diri dalam ikhtiar yang lain. Bukan ikhtiar “arus perdana” (mainstream). “Harta karun, tetaplah harta karun. Namun, jika dia diambil untuk membangun sebuah kerusuhan berikutnya, harta karun itu harus dimanfaatkan dengan cara tertentu”, ujar Abdal Ali Haidar. Begitu banyak orang berlaku baik, atau berkumpul dengan orang baik-baik, bijak mulia dan bestari, namun semua ini tak lebih dari tipuan. Mereka adalah serombongan kafilah yang tertipu, seolah telah menjalani “pengembangan diri” alternatif nan purna. Atas nama agama, tak sedikit kisah orang berubah sontak jadi biadab dan pemantik api kerusuhan. Mencoba berbuat baik, lacur berkata lain, malah mengobarkan tabiat buruknya dalam rangkaian perbuatan “api” berjela-jela.
Maksura, ialah sebuah lokus di dalam masjid. Dengan rias dan hiasan serba menggantung laksana nadi surgawi (bilangan atas dan serta atas menawan dan mewangi); letaknya berdepan dengan mihrab. Inilah tempat raja, seorang penguasa yang mengkonstruksi dirinya menjadi “bangkai elit” di rumah Tuhan. Raja, penguasa dan segala ikutannya tak lebih dari benang yang menembus di antara dua permata; benang tak kan jadi mulia. Dia tetaplah benang. Laksana, tanah subur yang di bawahnya terpendam tambang harta karun, demikianlah kebaikan, sama sekali tak memajukan diri, dia tak lebih dari sebuah tapak sunyi nan subur. Penyair sejati, sufi sejatilah yang rela mensunyikan diri bak tanah subur itu. Maksura itu tak lebih dari bungkusan (casing) yang bisa dibalut segala pernik mengikut persepsi dunia, bukan persepsi alam. Maksura, diperkenalkan oleh para raja Andalusia, demi mengikat keabadian tentang nama-nama. Tapi? Nyatanya TAK. Sejarah membangun tembok serta TAK tentang tokoh, tentang nama-nama, yang tersisa malah karya dan segala tinggalan arti(factual) dan secebis menti(factual).
Agama memberi tempat nan tinggi bagi nama-nama harum. Nama wangi itu dilekatkan kepada para syuhada, para santo, para sadhu (pertapa Hindu), Sant (Sikh), dan sejumlah nama sapaan dalam setiap agama. Mereka memiliki hubungan khusus dengan Tuhan. Ikutannya? Tapak-tapak sakral mereka; mazar, dargah bagi para Musryid dan Darwys atau Pir; kemudian Sthan dan Samadh (bagi para Yogi -guru yoga-), Gurudwara bagi para Sant, diyakini membuka pintu-pintu perantara yang berstruktur serupa menuju Tuhan. Melanconglah ke Punjab, kita akan menemukan tapak Maksura yang menyatu dengan alam, lewat logika alam, dia menghidang dan dihidang oleh segaris jalan “rindu”, sebuah retas kerja ruh, petugas ruhani. Dan bait-bait puisilah penukil utama jalan itu. Maka, penyair dan kepenyairan adalah ihwal pekerjaan ruh. Bukan gerak tulis jasadi.
Mansur al-Hallaj dimutilasi selagi bernyawa, di tengah-tengah nafas kehidupannya. Lalu, siapa nama algojo yang memutilasi? Suhrawardi dibunuh demi hukum. Sang Iluminasionis ini, juga berdepan dengan seorang algojo. Lalu, dapatkah engkau menyebut siapa nama algojo itu? Merimbun pula buku-buku al Ghazaly dilembar ke tengah kumparan api. Lalu siapa yang melempar? Di sini nama-nama pemusnah tak diperlukan, nama-nama itu hilang melayang. Tapi, berapa juta mulut bahkan milyar lidah yang menyebut nama al-Hallaj, Suhrawardi dan al-Ghazaly? Tak seorang pun mengingat nama para algojo, karena kaum sufi menolak menyebut kembali nama-nama buruk. Karena nama-nama buruk itu tak lebih dari ibarat. Para penukil jalan sunyi, para peretas jalan senyap tak kan terpesona dengan segunung ibarat. Para penyair, tak memerlukan ibarat jua. Ketika kembali ke alamat rumah para “ibarat”, pada ketika itulah penyair mengalami kesesatan. Kita tak memerlukan jalan pulang ke rumah para “ibarat” itu dengan menyebut serangkaian nama-nama di masa lalu dalam gaya absensi sekolahan. Memang ada sederet nama laksamana, memang berjenjang kepangkatan para pengepung istana, termasuk pengepung bulan, namun semua itu hanya setakat menjadi alamat rumah “ibarat”. Jalan seni itu, bukan jalan ibarat, apatah lagi syair. Ibarat itu cerutai rumpi para awam.
Para penukil kebenaran bersusah payah meniti jalan para guru akbar itu, bahkan rela merepotkan diri mereka sendiri untuk meneroka tentang apa yang seharusnya dilakukan orang-orang sebelumnya sehingga dia menjadi tiang ingatan nan agung. Tak pernah tergoda menyelidiki bagaimana buasnya jiwa sang algojo. Yang hilang ditebas para algojo itulah yang berpembawaan abadi. Namun, nama algojonya sirna, tiada berbekas, bak debu yang musnah, oleh tiupan angin kepak sayap lalat yang paling lemah. Bak benang yang jadi temali merangkai bulir melingkar, ada bulir ibarat, dan ada pula bulir permata. Para penyorak dan penguasa adalah benang, sementara bulir ibarat itu adalah algojo. Bulir permata itulah penukil jalan sunyi, penyair, “petugas ruh”.