Temali melingkar itu pula yang menginspirasi penulisan “nyanyian cincin” yang berasal dari tradisi pra-Islam yang sangat dikagumi banyak orang. Nyayian cincin (ring songs) ini dibawa dalam rasa Andalusia; yang liriknya cukup jauh berbeda dari “ode gantung” sebagaimana banyak ditemukan pada komunitas Arab pra-Islam yang mengagumkan itu. Variabel utama penyebab popularitas “nyayian cincin” ini adalah bahwa bahasa-bahasa pengantar dalam masyarakat yang ragam di Andalusia bisa menjadi media “nyanyian cincin”, termasuk bahasa Ibrani yang selama ini hanya dikenal sebagai bahasa ibadah dan bahasa doa, baik di rumah Sakhenah ataupun Synagoge. Lewat “nyayian cincin” (dalam bahasa Arab disebut muwasysyahah, yang diambil dari akar kata sasy, secara etimologis bermakna stagen atau korset, yang melingkar), semua bahasa bisa mengalamatkan diri jadi media bagi “nyanyian puitis” dengan konfigurasi abadi, bak nama-nama orang suci itu.
Lagu-lagu itu menukilkan tentang identitas nan rumit perkauman Andalusia. Secara awam dikenal syair-syair dengan rima tunggal yang menyatukan seluruh bait, entah itu lima atau lima ratus bait; pada “nyanyian cincin” justeru sebaliknya. Jenis lagu ini membuat rima berputar-putar, repetisi pola-pola rima yang terkadang rumit dan merepotkan, dengan rima-rima internal maupun yang menghubungkan satu bait dengan bait lain. Stanza dari bangunan syair ini tak menghendaki adanya penutup, inilah estetika yang khas, jumlahan ungkapan lirik berkelanjutan yang bentuk luarnya ditandai dengan rima tunggal, tiada jeda teratur yang jelas. Dia seakan musik dansa jalanan, yang mengalami pemecahan ke dalam beberapa stanza yang “dilingkari” dengan bagian yang paling mengherankan yaitu refrain singkat dan simpel, diulang-ulang pada tiap stanza, waahh... mirip jazz (?); musik masa kini. Inilah musik stagen, syair korset, nan melingkar abadi. Dia menjadi titian ruh bagi para penukil dan pencahari.
Dia bak peneguh jalan sunyi di setual zaman. Bukan sekedar bungkusan Maksura yang diwangi-wangikan lewat gelimang artifisial demi menyinari jasad elit di depan mihrab. Para penguasa, penjahat dan turunannya akan senantiasa berharap sandangan wira dan hero dilekatkan kepada pewaris mereka, nama tembok zaman tak berdaya adhesif untuk melekat. Tembok-tembok sejarah peradaban tinggi, akan selalu direnjis oleh wewangian dari darah mereka yang memercik, oleh kilatan pedang dan kapak penebas. Mengungkailah dalam sejumlah jumlahan tak bertepi...***