Di Pekanbaru, hari ini, saya mendengar kabar itu akhirnya: Agus Sri Danardana jadi dipindahtugaskan ke Padang, Sumatera Barat. Dari laman Riaupos.co saya baca lagi kabar itu. Ia memang pergi, ternyata. Dulu ia sempat bercerita kepada saya dan May Moon tentang masa pensiunnya yang tak lama lagi. “Kalau pensiun nanti, mungkin saya ke Sragen,” kata dia. “Tapi maunya pensiun di Riau saja.”
Saya tak melihat keraguan di matanya. Tujuh tahun yang lalu ia ke mari dan segalanya meninggalkan jejak yang indah. Balai Bahasa kembali ke jalur yang diharapkan. Terlalu banyak jasa dan orang-orang yang sudah ia besarkan. Tapi ia selalu begitu: rendah hati dan sebisa mungkin mengambil jarak dari pujian. “Semoga kalian jadi orang besar nanti,” pesan dia suatu waktu.
Hingga hari ini saya masih ingat bagaimana kami ngopi ketika malam tahun baru. Ada Pak Hary B Koriun juga, serta kawan-kawan di Komunitas Paragraf. Kami berbincang hangat soal Lekra, Peristiwa ’65 dan ia kokoh sekali menghadapi argumen seorang muda yang gila jawaban seperti saya.”
Ketua PWI Riau, H Dheni Kurnia menilai Balai Bahasa Provinsi Riau di bawah kepemimpinan Danardana telah berperan aktif memperbaiki bahasa media massa serta memberikan penghargaan pada Media massa di Riau termasuk para jurnalisnya. Dheni menilai “Pak Danardana tidak alergi kritik, dan dia terus membina hubungan yang baik dengan para seniman, sastrawan, budayawan, dan media. Mereka respek dengan apa yang dikerjakan Balai Bahasa Riau saat dipimpin Pak Danardana” (Riau Pos.co, 17 Januari 2016).
Ketua Sindikat Kartunis Riau (Sikari) Furqon LW pun melihat sosok Agus Sri Danardana sangat “membumi.”
“... meskipun Agus Sri Danardana seorang pejabat dan memimpin lembaga sebesar Balai Bahasa Provinsi Riau, namun dalam berbagai kesempatan tak memperlihatkan dirinya seorang pejabat. Danardana sangat merakyat, mau bergaul dengan semua kalangan seniman tanpa pandang bulu.
Meski Balai Bahasa cenderung mengurus masalah kebahasaan dan kesusasteraan, namun Danardana juga peduli dengan cabang-cabang budaya lainnya, salah satunya kartun, yang selama ini jarang dilirik oleh pejabat pemerintah.
“Suatu kali, Majalah Sikari ulang tahun pertama, dan beliau datang memberi kami suport agar kami terus berkarya,” ujar Furqon.
Furqon merasa terkesan dengan pendekatan yang dilakukan Danardana kepada pekerja seni dan budaya (sastrawan, musisi, teter, kartunis, pelukis, dll.) di Riau. Di hampir setiap kegiatan seni, jika sedang berada di Pekanbaru, Danardana mengupayakan untuk datang dan selalu membaur dengan membuang atributnya sebagai pejabat.