Kata-kata (teks verbal) kadang hanya lalu-lalang untuk sekadar menyambung narasi, memperkokoh peristiwa, atau bahkan ia menjadi simbol itu sendiri. Sebagaimana teks puisi yang kerap menampilkan citraan dan imaji. Boleh jadi, penonton akan menyaksikan puisi yang bergerak sunyi penuh citraan di panggung HOL. Meskipun begitu, simbol utama tetap bersumber dari teks puisi “HOL”, yang lebih dekat dunia laut, dunia maritim, dunia kepulauan, maka jaring, kajang, dayung dan sejenisnya tetap dipertahankan sebagai simbol kunci yang memperkuat relasi-relasi tematik.
Selain pertunjukan ini juga bersumber dari puisi panjang “Hikayat Orang Laut” karya Marhalim Zaini sendiri, boleh jadi juga teater-puisi adalah sebuah ruang pencarian bentuk-bentuk “estetika baru” dalam wilayah yang lebih luas, yang mencoba mempadu-padankan antara puisi dan teater. Sekaligus, di lain sisi, melepaskan ikatan-ikatan definitif kedua genre tersebut, untuk kemudian meleburkannya dalam satu ikatan baru.
"Boleh jadi juga, teater-puisi adalah sebuah istilah untuk kemudian saling meniadakan, dan melebur menjadi satu entitas baru, yang mungkin belum bernama," ungkap MZ.
Dalam sinopsis HOL, MZ menyatakan, orang-orang laut terus berdebat tentang sejarah hidup mereka, tentang peradaban laut yang surut didera pasang peradaban darat. Mereka terus bertanya siapa diri mereka sesungguhnya. Kembali kepada sejarah yang kalah, atau menuju ke masa depan yang entah. Sementara waktu, terus bergerak cepat, meninggalkan sampah-sampah jejak masa lalu yang tak mudah diurai.
Dalam karya ini, MZ menuturkan riwayat hidup orang laut, terutama yang berada di Kepulauan Riau (Kepri), dan rumpun suku laut di Semenanjung Malaya. Karya itu, bersumber dari sebuah puisi Marhalim Zaini (dimuat di Kompas, 2010) dengan judul yang sama. Maka dalam pertunjukan ini, ia menyuguhkan model pertunjukan simbolik yang memadu-padankan antara kekuatan teks puisi dan eksplorasi teaterikal.