"Saya sepakat, bahwa puisi itu induk seni. Maka ia melahirkan anak-anak seni, yang banyak perangai. Puisi dalam teater, atau teater dalam puisi, menjadi tak penting lagi, ketika keduanya menjadi satu darah, sekandung dalam sebuah pertunjukan," ujar Marhalim Zaini (MZ), sutradara Hikayat Orang Laut (HOL).
-------------------------------------------------------------------------------------
(RIAUPOS.CO) - USAI mementaskan karya perdana mereka berjudul, Dilanggar Todak, kini MZ bersama Suku Seni Riau kembali menyuguhkan karya kedua mereka dengan judul, Hikayat Orang Laut di Anjung Seni Idrus Tintin, 28-29 Juli. Karya kedua ini masih dalam suguhan ’teater puisi’. Inilah teater, sebuah karya seni pertunjukan yang bisa dan sah bertolak dari apa saja.
"Seni teater hari ini, adalah seni yang semakin kompleks. Ia tidak berhenti pada teater sebagai entitas seni, tapi ia bergerak menerabas batas. Tak perlu hari ini, bertanya lagi tentang definisi, tapi yang perlu kini menciptakan ruang-ruang baru. Teater masa kini, justru adalah sebuah ruang yang paling mungkin untuk beradaptasi dengan zaman, dengan jenis seni apapun, karena "teater" itu sendiri, pada saat yang lain, adalah bukan semata bentuk seni, tapi adalah kehidupan itu sendiri," papar MZ berfilosofi.
Dijelaskannya, pertunjukan teater-puisi HOL, tidak berpretensi meluruskan atau membengkokkan sejarah. Tapi sejarah dalam HOL adalah “sejarah yang kalah.” Kekalahan Orang Laut menghadapi zaman, kekalahan Orang Laut menghadapi kehendak kekuasaan, kekalahan Orang Laut menghadapi dirinya sendiri, yang seolah terbelah antara peradaban darat dan peradaban laut.
HOL sebagai sebuah produk kesenian, harus berpihak. Keberpihakan HOL adalah—selain keberpihakan artistik—juga keberpihakan ideologis. Keberpihakan terhadap upaya penguatan-penguatan daya pikir masyarakat hari ini (khususnya masyarakat Melayu modern) terhadap sejarah sebuah peradaban, melalui karya kreatif.
Proses kreatif penciptaan teks panggung HOL adalah proses keluar-masuk, dari sejarah ke realitas kekinian. Proses tersebut, bisa jadi, berkelindan dalam keliaran yang jauh, tapi tetap kembali ke muara: oto-kritik atas diri orang Melayu sendiri, atas diri umat manusia. Maka simbol-simbol bermain sangat dominan dalam artistik pertunjukan teater-puisi ini.