PERAYAAN HARI TEATER DUNIA 2023

Ketika Seniman Lintang Pukang tanpa Dukungan

Seni Budaya | Minggu, 26 Maret 2023 - 12:42 WIB

Ketika Seniman Lintang Pukang tanpa Dukungan
Dari kiri, moderator Siti Salmah, Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau Toha Machsum, Ketua Teater Selembayung Fedli Aziz, pegiat teater Pay Lembang, dan Ketua Jaringan Teater Riau (JTR) Rian Kurniawan Harahap saat menjadi pembicara diskusi dalam peringatan Hari Teater Dunia di Kawasan Bandar Serai, Purna MTQ, Pekanbaru, Jumat (17/3/2023). (JARINGAN TEATER RIAU UNTUK RIAU POS)

Dunia kesenian Riau, termasuk teater, tidak sedang baik-baik saja. Banyak seniman yang terus survive dalam berkarya, padahal sebenarnya pemerintah punya tanggung jawab untuk membantunya. Juga perusahaan swasta dengan CSR-nya.

 


RIAUPOS.CO - HARI Teater Dunia (World Theater Day) yang jatuh pada 27 Maret, diperingati oleh para seniman teater Riau –juga lintas genre— dengan diskusi sekitar teater dan perjuangan seniman Riau dalam membangun eksistensi dirinya.  Kegiatan yang diinisiasi Jaringan Teater Riau (JTR) ini berlangsung di Kedai Ekraf Yung Sungut, di Kawasan Banda Serai, Purna MTQ, Jumat (17/3/2023) malam.

Meski dalam konteks tentang teater, namun diskusi dengan tema “Ruang Teater dan Lintang Pukang Kesenian” tersebut juga banyak menyoroti dunia kesenian secara luas. Kepala Balai Bahasa Toha Machsum, Ketua Teater Selembayung Fedli Aziz, pegiat teater Pay Lembang, Rian Kurniawan Harahap, dan musisi Rino Dezapati yang menjadi pemantik diskusi yang dimoderatori Siti Salmah, menyampaikan banyak hal yang bisa menjadi renungan kita bersama tentang makna dan hakikat berkesenian, terutama terater. Acara juga diisi berbagai penampilan dari berbagai sanggar dan kelompok kesenian yang datang.

Dalam diskusi itu, Toha menyampaikan tentang pentingnya menyiapkan generasi pelapis teater melalui kegiatan bermain peran di satuan pendidikan dasar. Kegiatan bermain peran selain sebagai bentuk apresiasi sastra dan seni juga dapat membentuk karakter siswa yang baik, yaitu olah rasa, olahraga, olah karsa, dan olah pikir.

Dia berharap, melalui kegiatan bermain peran ini akan lahir tunas-tunas pecinta teater dari sekolah. Selanjutnya, tentu diharapkan ke depan perteateran di Riau khususnya dan umumnya di Indonesaia akan lebih semarak. Apalagi kalau  kemudian didukung oleh para pemangku kepentingan seperti pemerintah, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), komunitas/sanggar sastra, dll.

Toha menganalogikan tentang permainan sepakbola. Mengapa permainan sepakbola di Eropa begitu semarak, bahkan mendunia, karena dukungan para pemangku kepentingan di sana luar biasa. Konon setiap hari Jumat ketika ada permainan sepakbola, masyarakat berbondong-bonddong menonton, bahkan sekolah pun menyediakan lapangan sepakbola.

“Jadi, kalau para pamangku kepentingan memiliki kepedulian yang tinggi, teater pun juga akan semarak layaknya permainan sepakbola di Eropa,” kata mantan Kepala Balai Bahasa Papua dan Bali ini.

Membangun ekosistem berkesenian yang baik dan kuat seyogyanya dikaitkan dengan pendidikan, mengingat bahwa berkesenian berhungungan erat dengan pendidikan. Hubungan erat itu, jelas lelaki kelahiran Purworejo (Jawa Tengah) itu, bukan saja karena berkesenian (teater) berperan penting dalam pendidikan, melainkan juga karena keduanya sama-sama bermuara pada manusia. Kalau teater hadir dari dan untuk manusia, pendidikan juga hadir dari dan untuk manusia.

“Kalau teater dipentaskan dalam kerangka pembudayaan manusia, pendidikan juga dikelola dalam kerangka yang sama. Kalau teater mengeksplorasi dan mengaktualisasi sekian banyak aspek kehidupan, pendidikan juga berbuat hal yang serupa,” jelas alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

***

PEGIAT  teater dari UKM Batra FKIP Unri, Pay Lembang, lebih fokus membahas kondisi teater kampus saat ini. Menurutnya, teater kampus tidak melulu bicara persoalan estetika karya, tapi harus dapat berperan sebagai kritikus sosial dan politik dalam masyarakat, termasuk pemerintah. Karya-karya teater mahasiswa dapat menggambarkan situasi sosial dan politik yang terjadi di masyarakat, serta mengkritisi kebijakan atau tindakan pemerintah yang dianggap tidak tepat atau merugikan masyarakat.  “Teater kampus dapat menjadi corong masyarakat yang suaranya kurang terdengar dan memberikan kontribusi penting dalam pembangunan. Artinya,  dalam iklim berkesenian mahasiswa sebagai agent of chance tetap bisa menjalankan perannya dengan baik.

Tentang kondisi terkini dan masa depan teater Riau dan Indonesia, Pay menjelaskan, sesungguhnya masa depan teater Riau sangat menjanjikan. Beberapa waktu yang lalu, pekerja seni teater se-Sumatra bersepakat untuk menjadikan Riau sebagai pusat seni pertunjukkan di pulau ini. Adanya Anjungan Seni Idrus Tintin (ASIT) sebagai sarana pertunjukkan yang megah –meski kuranag terkelolo dengan baik—iven-ieven yang berskala nasional, banyaknya komunitas kesenian yang tumbuh, serta antusias masyarakat Riau dalam mengapresiasi seni pertunjukkan barangkali menjadi beberapa alasan kenapa Riau yang dipilih, terlepas dari persoalan kualitas dan kuantitas karya yang ada. Sayangnya, kata Pay, wacana ini masih menggema di ruang-ruang kreativitas seniman saja.

Pay juga bicara tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam membangun iklim dan ekosistem berkesenian yang baik dan kuat di Riau. Menurutnya, membangun gedung seni dan galeri memang diperlukan sebagai ruang-ruang untuk berkreativitas, akan tetapi aksesibilitas yang baik patut juga diperhatikan. Sama halnya dengan persolanan pendanaan, menurutnya, pemerintah dapat memberikan bantuan/pembinaan serta akses bagi komunitas yang baru tumbuh --kurang mampu secara finansial. Tidak setakat fokus kepada komunitas yang memang sudah bertumbuh. Hal ini untuk memastikan kelangsungan hidup seni dan budaya yang ada.

 Kemudian, meningkatkan pendidikan seni. Pendidikan seni yang baik dapat membantu meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni dan budaya. Dia berharap kehadiran muatan lokal Budaya Melayu Riau (BMR) di sekolah dan lembaga pendidikan dapat memperkenalkan pelajaran seni dan mempromosikan program seni ekstrakurikuler. Berikutnya adalahkolaborasi antara seniman dan lembaga seni dapat membantu memperkaya ekosistem seni. Lembaga seni dapat mengundang seniman untuk berkolaborasi dalam acara-acara dan pameran seni, dan seniman dapat saling menginspirasi dan bekerja sama dalam proyek seni. Tetapi, yang tak kalah penting adalah bagaimana seniman dapat berkolaborasi dengan pemerintah.

“Untuk membangun ekosistem seni yang baik, penting untuk menjaga kualitas seni yang dihasilkan,” jelas dosen di Jurusan Baahasa Indonesia FKIP Unri ini.

***

PEGIAT teater lainnya, Fedli Aziz, membahas lebih luas tentang kesenian di Riau dan upaya para seniman agar diberi ruang. Menurutnya, Pemprov Riau telah mencanangkan tiga ruang untuk tiga fokus bidang pembangunan dan pengembangannya. Pertama, Kompleks Masjid Agung An Nur sebagai Islamic Center; kedua, Komplek stadion Rumbai sebagai Sport Center; dan Kompleks Bandar Serai (Purna MTQ) sebagai Art Center. Ketiga ruang itu dicanangkan di masa Saleh Djasit sebagai Gubri, dilanjutkan Rusli Zainal, Andi Rachman, hingga Syamsuar.

Sayangnya, dimasa Rusli Zainal, khusus ruang ekspresi para seniman di kawasan Bandar Serai seluas 15 ha justru dibagi menjadi dua, setengah untuk kawasan bisnis yang tak pernah terwujud sampai hari ini dan setengah lagi untuk Art Center. Di masa itu pula, salah satu hal dibangun untuk bidang olahraga, yakni silat dan sepaktakraw.  Pernah pula, di kawasan itu akan dibangun Museum Perempuan, namun tak wujud. Di atas tanah untuk museum itu pada masa Gubri Syamsuar, sejak 2022 hingga saat ini dibangun  Quran Center. Pada masa Rusli Zainal juga diba­ngun  gedung Dekranasda Riau. Bangunan selesai, namun peruntukannya justru di manfaatkan sebagai Kantor Dinas Pariwisata Riau.

Menurutnya, Kantor Dinas Pariwisata dianggap tidak menjadi masalah karena ASIT yang menjadi kebanggaan masyarakat Riau berada dalam kawasan itu dan dikelola langsung oleh dinas tersebut.  Khusus bangunan Quran Center dalam kawasan itu, sempat menjadi polemik di tengah masyarakat, terutama di kalangan seniman. Pertanyaannya, kenapa tidak dibangun di kawasan Islamic Center agar lebih fokus?

“Jadilah kawasan Bandar Serai sebagai kawasan gado-gado. Bukan berarti seniman menentang pembangunan Quran Center, hanya saja kenapa tidak dibangun ditempat yang sepantasnya di Islamic Center?” kata pendiri kelompok Teater Selembayung ini.

Pembangunan Quran Center yang dianggap tak memperhitungkan penataan ruang membuat kawasan itu, kata Fedli, tak memberi kesan apa pun. Seniman tetap menyuarakan kegelisahan itu. Namun mereka tak mau  dibenturkan sebagai pihak yang benci pada agama Islam. Mereka hanya minta setelah Syamsuar tak lagi menjabat, jika diganti Gubri yang baru, atau Syamsuar menang lagi dalam kontestasi Pilgubri, untuk mempertimbangkan kembali hal tersebut.

Ketika kawasan Bandar Serai tak memberi kenyamanan, lanjut Fedli, Taman Budaya seperti sarang penyamun, maka seniman hanya bisa bermain di ruang-ruang sempit/publik yang mereka ciptakan sendiri. Dan Visi Riau Menjadi Pusat Ekonomi dan Kebudayaan Melayu di Asia Tenggara dianggap hanyalah lipstik belaka.

“Itu baru ruang secara fisik. Belum lagi program-program kesenian yang tak memihak kepada seniman. Anggaran pemeliharaan dan pengembangan kesenian tradisi maupun modern juga belum memihak pada seniman. Dinas terkait hanya sibuk menyukseskan penyelenggaraan kegiatan namun seniman yang dilibatkan hanya sebagai pelengkap penderita saja,” ujarnya lagi.

Sementara itu di bidang teater,  seniman tak pernah “mati akal” untuk melahirkan karya-karyanya. Bahkan dalam kondisi seburuk ap apun yang dialami sebuah bangsa, para pelaku teater punya cara jitu dan ampuh untuk mengembangkan dirinya sesuai zaman. Contohnya, masa pandemi corona tidak mampu membunuh kreativitas mereka. Jika tak bisa face to face dengan audiens secara langsung, mereka memanfaatkan teknologi yang tersedia sebagai wadah tepat bertemu audiennya. Lahirlah teater virtual, online dan seterusnya.

Untuk membangun ekosistem berkesenian yang kuat, kata Fedli,  harus ada kolaborasi antarberbagai kepentingan. Pemerintah, swasta, seniman, dan masyarakat pendukungnya. Jika hal itu wujud, maka ekosistem berkesenian tak hanya isapan jempol belaka. Meski mewujudkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun seniman tetap berupaya dan merencanakan bahkan telah menjalani siasat yang telah mereka rancang.

“Saat ini, tidak lagi terpaku antarhubungannya dengan pemerintah sebagai fasilitator. Seniman telah menarik banyak pihak hingga orang perorang untuk bersama-sama membangun ruang ketiga dan keempat dalam mewujudkan lahirnya ekosistem yang sehat. Meski hasilnya belum maksimal, minimal mereka telah berbuat itu. Daripada berharap pada sesuatu yang tak pasti,” jelas alumni FIB Universitas Lancang Kuning ini.

***

KETUA Jaringan Teater Riau (JTR), Rian Kurniawan Harahap menjelaskan, Hari Teater Dunia  merupakan sebuah peringatan yang mesti dilaksanakan oleh seluruh seniman teater. Ini adalah hari raya teater seluruh dunia. Riau sebagai episentrum kesenian di Sumatra dan terus melahirkan tokoh-tokoh merasa wajib untuk ikut melaksanakan peringatan  tersebut. Menurutnya, Hari Teater Dunia adalah sebuah momen reflektif dan dialektika teater.

Ditambahkannya, masa depan dunia teater hari ini tak lepas dari pelakunya, di mana teater dunia terus berinovasi dan bersinggungan menggantikan teknologi sehingga pentas teater semakin menarik. Menurutnya,  dunia teater di Riau kita tidak boleh pesimis meskipun tidak adanya wadah yang diberikan untuk teater menelurkan ide-idenya. Namun, teater terus hidup di sekolah, kampus, dan masyarakat. Teater di Riau tidak boleh mati dengan kondisi yang apatis dari pihak terkait.

“Seniman teater merdeka untuk terus berinovasi dan mencari laman bermainnya. Buktinya, selalu saja teater dari Riau diperhitungkan di kancah nasional,” jelas lelaki yang juga berprofesi seorang guru ini.

Menurutnya, seharusnya pemerintahan daerah melakukan pemetaan dan mengajak seniman teater ikut andil dalam merancang program-program kesenian. Seniman perlu bantuan dalam berkarya, begitu juga pemerintah seharusnya peka dengan apa yang dibutuhkan seniman sebagai mitra mereka dalam menjalankan program kerjanya. Pihak swasta pun harusnya membuka diri jika seniman mengetuk pintu. Ada banyak dana  Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan yang seharusnya disalurkan sebagai salah satu indikator keberhasilan sebuah pentas.

“Jaringan Teater Riau sebagai wadah empat puluhan teater di Riau akan terus mengkritik pihak-pihak yang tidak mau tahu dan terlibat padahal itu adalah tanggung jawab bersama,” jelas Rian mengakhiri.***

 

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook