ESAI SASTRA

Parodi Panam dan Ode Sebuah Olimpiade

Seni Budaya | Minggu, 18 Oktober 2015 - 01:18 WIB

Parodi Panam dan Ode Sebuah Olimpiade
(DEFIZAL/RIAU POS)

Madah Poedjangga hanya tembok kecil dari menara-menara besar kebudayaan yang kelak berdiri. Ia telah memulai meningkah nada, dengan clarion call, hentakan kerasnya sendiri. Boleh jadi bagi sebagian orang ia baru tersimak sebagai gumam, denting sekeping tala, belum sampai gema. Tapi di dinding-dinding Kota Leiden, muurgedichten (tembok puisi) itu baru memahat 107 sajak, semenjak dimulai tahun 1992 silam dengan mengukir syair William Shakespeare.  Di sebuah gedung di kawasan Papengracht, April lalu, saya melihat puisi ke-107 itu. Pahatan sebuah puisi karya pujangga Syria, Adonis.

Tembok puisi di Leiden, sebagaimana halnya mural sajak-sajak underground di lorong-lorong busway Kota Paris, atau tempat-tempat lain di sejumlah negara, sesungguhnya hendak mengungkai warkah sederhana. Menghadirkan puisi dalam laku sehari-sehari. Puisi tak boleh hilang dari dimensi keseharian. Sedikit saja puisi lengah, ia langsung tergerus oleh kota yang serba bergegas. Kota yang kelak hanya akan menciptakan manusia-manusia Kafka, menihilkan segala.

Baca Juga :Pastikan Rekondisi Jalan Selesai Akhir Tahun

Nihilisme dari kota yang tergesa-gesa, pada titik tertentu bukan lagi semata pengabaian, atau peniadaan, pelbagai konsekuensi pahit-getir hidup. Namun lebih nahas: pemasrahan. Ratap putus asa yang dijalani dengan sikap tertib seorang ratib. Sebab itu, Madah Poedjangga boleh juga ditafsirkan sebagai tembok optimisme. Pilar ikhtiar. Mengapa? Karena opsi kebudayaan di tanah Melayu hanya satu: menolak bergeming pada satu dinding. Bila roboh Kota Melaka, papan di Jawa kami tegakkan! Demikian. ***

Ramon Damora adalah sastrawan yang rajin menulis dan karya-karyanya dimuat diberbagai media. Saat ini berdomisili di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook