Di tembok puisi “Madah Poedjangga” yang resmi diperkenalkan ke khalayak, kemarin malam (17/10), suara-suara jiwa yang nirmala itu, pun terdengar. Terletak di depan Graha Pena Riau, Pekanbaru, Panam, Madah Poedjangga hadir di tengah keriuhan sebuah jalan. Tak besar, panjang 30 meter, tinggi 10 meter saja. Namun gemuruh sajak para penyair, semalam, tak hanya menggenapkan 28 puisi milik 28 penyair yang terukir di tembok Madah, namun serasa menuntun telinga hati berpaling meneroka bahasa sukma.
Madah Poedjangga memanggil kita mereguk bahasa dengan segala pesonanya. Tempat istirah bagi pembuluh nadi, agar darah lancar mengalir ke jantung. Sudah lama arteri kita tersumbat di jalan-jalan sebab di sana orang makin mudah mengumpat memaki. Bukankah di lebuh raya juga terdapat istilah “jalan arteri”, jalan yang melayani perjalanan jarak jauh, menghubungkan kota-kota, dilalui kendaraan bervolume besar, dengan kecepatan rata-rata tinggi?
Benar. Tapi jalanan mengasuh kita menjadi bangsa yang sulit memuji. Sukar bermadah. Padahal madah sama dengan ode, oda: puji, puja. Tuhan takkan pernah bisa dipuja bila suatu kaum sulit memuji sesamanya. Demikian nasihat agama. Maka pada Madah Poedjangga, yang kebetulan beralamat di Jalan Soebrantas, salah satu jalan arteri di kota ini, manusia dimuliakan, pujangga dihormati, lewat puisi. Puisi tak datang dari nyalak sehayun palu hukum. Puisi bukan dakwaan. “Ne jugez pas,” kata Andre Gide, pujangga dari Perancis. Puisi bukan vonis.
Terpujilah puisi, terpujilah para pujangga. Kita tak pernah tahu benang merah antara puisi dan prestasi. Olimpiade London 2012 mencobanya, dengan apa yang disebut penyair Britania, Daljit Nagra, sebagai “clarion call”; raung sebuah gaung, seru yang bertalu-talu. Berasal dari bunyi macam apa pekik-mencabik heavy-metal ala clarion call itu? Bunyi puisi. Di mana sang bunyi mesti menyosok? Pada sebidang tembok, yang diukir permanen di tengah-tengah arena olimpiade.
Bersama penulis Inggris lainnya, Daljit Nagra dipercaya untuk hanya memilih sebait puisi saja dari ratusan mahakarya puisi yang pernah ditulis pujangga-pujangga terkemuka negeri mereka. Sebait sahaja. Sebait yang bisa menghentak, menggugah, kesadaran-menuju-paripurna. Lantas terpilihlah puisi bertajuk Ulysses, karya penyair legendaries Inggris, Alfres Tennyson (1809-1892): moved earth and heaven, that which we are, we are / one equal temper of heroic hearts / made weak by time and fate but strong in will / to strive, to seek, to find, and not to yield //
Puisi yang pantas, tentu saja. Sebab hidup bukan sekadar perkara mengitari jagat, atau usaha merengkuh nirwana. Bukan pula setakat menyemburkan gelegak dada, dari jiwa paling kesatria sekalipun. Tidak juga harus berakhir pada suratan nasib dan getir takdir. Hidup, urai puisi ini, justru pencaharian tiada henti. Bukan soal hasil.
Entah karena pengaruh tembok puisi Ulysses itu atau tidak, baru pada olimpiade inilah Inggris meraih lebih dari 20 medali emas sejak keikutsertaannya tahun 1908 silam. Dan keluar sebagai tiga besar peraih medali terbanyak, di belakang Amerika dan Cina.