ESAI SASTRA

Estetika Diam Mat Syam

Seni Budaya | Minggu, 21 Februari 2016 - 00:45 WIB

Sulit membantah dalil Encik Haji Saleh ini, rasanya. Sama sulitnya dengan menemukan karya-karya sastrawan Melayu terkini yang benar-benar terbebas zahir batin dari “duka alam” itu. Barangkali masih perlu bilangan beberapa dekade lagi Melayu bisa menemukan konsep estetika yang baharu. Perubahan pola pikir suatu tatanan kehidupan masyarakat, memang sangat mempengaruhi penilaian terhadap keindahan. Namun,betapa terpujinya sastrawan bila karya-karyanyalah yang menjadi pemandu perubahan tersebut.

Pada masa Romantisme Perancis, estetika berarti kemampuan menyajikan keindahan demi sebuah keagungan. Moral merupakan segala-galanya. Namun lewat Madame Bovary, novel yang ditulis Gustave Flaubert pada 1856 dan selalu diulang para pengamat sastra sebagai roman terbaik yang pernah ada, moral luluh-lantak. Perselingkuhan diumbar Puan Bovary, istri bangsawan, mewakili ketaksenonohan perangai kaum borjuis kala itu.

Baca Juga :Pastikan Rekondisi Jalan Selesai Akhir Tahun

Kepincangan akhlak yang selama ini tabu, terekam menjadi kisah cinta terlarang yang memukau oleh Flaubert. Madame Bovary bukan saja novel sejati yang piawai memotret zamannya, tetapi juga menandai runtuhnya era Romantisme. Lalu terbitlah masa Realisme, di mana estetika diukur dari kemampuan menyajikan keindahan apa adanya.

Sejarah berutang kepada Gustave Flaubert. Kini sudahkah kita berterima kasih pada BM Syam? Kesetiaan sastrawinyaberdepan-depan dengan tema kecamuk sosial, kekeras-kepalaannya menjadi hati nurani masyarakat Melayu di zamannya, tak terinterupsi lagi, menempatkan BM Syam pada tahta yang sangat khas di suatu masa. Satu-satunya, bahkan.

Direngkuhnya prestasi sunyi itu dengan diam. Tanpa keinginan menggebu-gebu dipanggil pembaharu.Tak mengemis supaya digelari Reformis. Tanpa sempat memiliki buku kumpulan cerpen tunggal edisi lux bersampul endorsement para sahabat.Tanpa sempat menikmati hidupselesa,seperti yang dirasakan seniman-seniman Melayu pasca-otonomi dari kemurah-hatian anggaran pemangku negeri.

Hari ini, 21 Februari, atau tepat 19 tahun yang lalu, BM Syamsudin wafat. Dijemput maut yang juga diam. Siapa menyangka, nikmat besar era Reformasi bagi para sastrawan sepeninggalnya adalah merayakan estetika yang bertahun-tahun dulu dihayatinya: estetikadari teks-teks Melayu yang terluka, Melayu melawan, dan seterusnya.

Celakanya, wahai Bujang Mat Syam, engkau berhasil menyatukan luka-luka itu dengan tanah pusara yang diam. Sementara kami masih terus-menerus bising mereproduksinya dengan kecengengan dan kebodohan baru.Estetika kami estetika tukang kibul seni berjubah marwah. Maafkanlah…***

Ramon Damora adalah sastrawan yang rajin menulis karya, baik esai maupun sajak. Karya-karyanya dimuat dalam berbagai media dan sudah pula dibukukan. Saat ini Ramon mengasuk halaman budaya Jembia di Batam Pos.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook