Sampai di sini, kita jeda sebentar menuju abad 18, saat seorang filosof Jerman, Alexander Boumgarten, mematlamatkan pertama kali konsepsi estetika sebagai ilmu pengetahuan yang mandiri, dengan menggamit akar katanya yang berasal dari Bahasa Yunani: aithe, kepekaan. Aesthetic, estetika, tak lahir dari keindahan yang kasat mata.Melainkan dari ketajaman perasaan pada dunia yang keliru dankabur sekalipun.Andai sisi terluka manusia (faculty inferior) bisa diutarakan dengan molek, itulah estetika.
Monopoli distribusi bisnis cengkeh ala Tommy Soeharto. Hujjah estetika Tuan Boumgarten. Apa kait kelindan keduanya? Ini: tahun 1991, terbentanglah ke hadapan kita, "Dan Cengkeh pun Berbunga di Natuna". Satu tajuk yang memangmengusik kepekaan.Pilihan estetik penggunaan partikel “pun” di situ tak ayal menyergap nalar.Ia bisa menyatakan aspek sesuatu sedang, atau telah, terjadi. Bahwa fenomena ekonomi yang dihasilkan pertanian cengkeh waktu itu, akhirnya menjalar ke Natuna-Anambas yang sebagian masyarakatnya selama ini justru dikenal sebagai petani kelapa.
Seorang antagonis, dari korporasi muslihat transaksi cengkeh, diceritakan datang menebar impian, yang tentu saja palsu.Satu per satu lahan kopra ditebas, menjelma jadi area kebun cengkeh penuh ilusi. Barulah pada pertengahan alur cerita, kita tersadar bahwa pengarang sesungguhnya telah menyisipkan makna yang lebih menegangkan dalam partikel sependek, sekaligus seluas, “pun”. Asas estetik Tuan Boumgarten mulai menari-nari di sini.
Frasa “cengkeh pun berbunga” pada akhirnya bukan keindahan diksi mengenai panen bunga cengkeh yang siap dipetik petani.Bukan pula bunga harum mewangi.Melainkan kuntum yang pecah berderai, chaotic. Rentetan ironi relasi kuasa kartel cengkeh dan kaum jelata yang sebenarnya telah terjadi di mana-mana nusantara, punpada gilirannya memporak-porandakan sendi hidup masyarakat Natuna, tanah kelahiran sang pengarang.
Simaklah jeritan Siti Hamlah pada suaminya yang cukup mewakili fakta pahit utopia niaga cengkeh dalam cerita itu: “Sampai hati Abang meninggalkan kami, anak-anak masih kecil, sedangkan kebun kelapa tempat bergantung hidup telah punah ranah,” ratap Siti Hamlah, semakin menjadi-jadi. Harapkan cengkeh penggantinya yang membelantara, sekalipun setiap musim pasti berbunga belum tentu cukup untuk keperluan hidup, sedangkan untuk melunasi utang makan saja belum pernah terselesaikan. Setiap musim cengkeh berbunga, utang baru semakin menumpuk…”
Ketika Kompas memuat cerpen ini, ia terasa sangat aktual dengan kapitalisasme oligarki bisnis cengkeh yang tengah menggurita-guritanya. Setahun kemudian, karya yang seperti menjadi postulat bagi estetika kepengarangan BM Syam tersebut termaktub pula di buku Kado Istimewa (Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 1992).
Semenjak itu, masyarakat sastra tanah air menerima dengan baik persembahan-persembahan estetik dalam senarai prosa Syam yang lain. Namanya masyhur sebagai cerpenis Melayu paling produktif, utamanya pada rentang tahun 80 sampai 90-an. Masa itu, tiada surat kabar mainstream di Jakarta yang luput mempublikasikan cerpen-cerpennya.
Seraya meniupkan umm al-Qur’an ke ruh Allahuyarham BM Syam, barangkali telah selayaknya kita mengingat namanya sebagai pengasas korpus estetika sastra Melayu mutakhir.Apa tepatnya estetika Melayu yang ditinggalkan BM Syam itu? Sastrawan yang juga pensyarah teori-teori sastra Melayu terkemuka dari Malaysia, Profesor Muhammad Haji Saleh, memudahkan kita dengan gagasannya.Estetika Melayu, jejal Muhammad Haji Saleh, berasal dari duka alam, duka sengsara yang indah.