Sebuah karya sastra lahir dari hulu, dan menemukan muaranya sendiri. Kotau, buku puisi karya Kunni Masrohanti, dinilai sebagai jalan bagi sang penulis untuk menemukan jalan pulang ke asal atau hulu.
(RIAUPOS.CO) - KOTAU adalah buku puisi ke empat Kunni yang berisikan 79 puisi. Semua puisi dalam buku ini ditulis dari hasil kajian Kunni yang digali dari akar tradisi Rantau Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Tidak tanggung-tanggung, pengkajian itu dilakukan Kunni hampir dua tahun. Hal ini membuat Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA) Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Datuk Seri Al Azhar angkat bicara.
‘‘Kotau, menggambarkan bagaimana masyarakat Rantau Kampar Kiri yang hidup dalam bentang alam dan keagungan tradisi yang masih jalan sampai saat ini. Kunni tidak membaca sungai sebagai sungai, tidak membaca rimba hanya sebagai rimba, tapi lebih dari itu. Maka, Kotau menjadi cara bagi Kunni untuk menemukan jalan balek ke hulu,’’ ungkap Datuk Seri, saat buku ini diluncurkan, Rabu (14/10), di Balai LAM Riau.
Peluncuran buku ini juga dihadiri Raja Kerajaan Gunung Sahilan, H Tengku Muhammad Nizar bersama tokoh masyarakat Kampar Kiri. Ada Datuk Godang, Datuk Marejo Lipatkain serta Wali Nagari Kampar Kiri, seperti Wali Nagari Aur Kuning dan Tanjung Beringin. Raja menyampaikan rasa terimakasihnya kepada Kunni yang telah menulis Rantau Kampar Kiri dalam puisi-puisinya. Apalagi yang ditulis Kunni tentang adat, budaya dan tradisi masyarakat serta bentang alamnya yang luas.
‘‘Kunni ini bukan sekali, dua kali atau lima kali datang ke Kampar Kiri. Hampir semua kegiatan di Kampar Kiri dia hadir. Penabalan raja dia hadir, penabalan kholifah hadir, semah rantau hadir, bahkan dia membawa penyair-penyair mancanegara ke Istana Gunung Sahilan. Syukurnya lagi, dia menuliskan apa yang dia rasa dan dia lihat itu. Semoga bisa dipelajari oleh anak cucu kami. Karena ditulis, maka Kotau membuat Kampar Kiri jadi lebih abadi,’’ kata Raja.
Kunni Bersama Tamu Undangan
Sutardji Baca Puisi Padang Sawah
Peluncuran buku ini juga dihadiri Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri secara virtual. Pada kesempatan itu Sutardji membacakan puisi berjudul "Padang Sawah", salah satu puisi dari 79 puisi yang ada di dalam buku Kotau tersebut. Sebelum membaca puisi, Sutardji menyampaikan sepatah dua patah kata.
‘‘Kunni adalah penyair perempuan Indonesia yang terus melahirkan karya-karya baru. Bahkan belakangan, ia menulis puisi dengan menggali akar-akar tradisi, termasuk buku Kotau yang diluncurkan hari ini. Hal ini akan membuat Kunni semakin berpengaruh dan mempengaruhi kesusasteraan tanah air melalui karya-karyanya itu,’’ kata Tardji.
Selain Sutardji, penyair Indonesia seperti Acep Zamzam Noor (Jawa Barat), Rini Intama (Banten), Mezra Pellondow (Kupang) dan Roymon Lamosol (Maluku) juga turut membacakan puisi-puisi dalam buku Kotau. Sedangkan penyair Riau Dheni Kurnia, membacakan langsung saat acara di Balai LAM.
Prosesi peluncuran ditandai dengan penandatanganan sampul buku oleh segenap hadirin setelah sepatah kata, pembacaan puisi oleh Kunni dan tari Kotau oleh Rumah Sunting.
Hadir juga dalam peluncuran buku tersebut sastrawan, seniman, budayawan Riau seperti A Aris Abeba (Imam Panggung Toktan), Taufik Ikram Jamil, Kazzaini Ks (Ketua Yayasan Sagang), Yoserizal Zein (Kadisbud Riau), Muhammad Muis (Kepala Balai Bahasa Riau), Nelvi Yonna (Kepala Dispusip Pekanbaru), Taufik Hidayat (Ketua DKR), Syafruddin Saleh Sei Gergaji, Marhalim Zaini, para pembedah buku Dr Junaidi, Fakhrunnas MA Jabbar, Repol S.Ag, Bambang Kariyawan (moderator) dan masih banyak lainnya.
Serba Kampar Kiri
Prosesi peluncuran buku Kotau memang tidak biasa. Peluncuran ini diwarnai dengan prosesi yang melambangkan kearifan lokal Kampar Kiri sebagai lokasi penelitian yang dilakukan Kunni sehingga menjadi puisi. Semakin terasa karena ruangan yang luas terasa ringan tersebab sedikitnya tamu yang diundang, yakni hanya 50 orang. Hal tersebut mengingat pandemi yang sedang melanda saat ini. Bahkan prosesi dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan secara ketat. Rumah Sunting sebagai pelaksana membagikan face shield secara gratis, menggunakan pengukur suhu tubuh, wajib memakai masker dan juga mencuci tangan sebelum memasuki ruangan acara.
Penandatnganan Cover Buku Kotau sebagai tanda buku ini diluncurkan, Rabu (14102020) di Balai LAM Riau.
Sastra lisan seperti Malalak dan Batimang, menggaung di dalam ruangan itu sepanjang acara berlangsung. Ditambah lagi alat musik Canang yang dimainkan langsung oleh Mardi, masyarakat Kampar Kiri. Begitu juga dengan salah satu pewara, Kasmono, yang juga kerap menggunakan bahasa Kampar Kiri saat memandu acara. Tari prosesi Kotau koreografer Syafmanefi Alamanda, para penari Rumah Sunting, dan arransement musik Taufik Yendra Pratama dengan laungan Ratok, membuat suasana di ruangan ini semakin Kampar Kiri.
Dibedah Tiga Pakar
Usai peluncuran, buku Kotau dibedah tiga pakar yang juga serba Kampar. Dr Junaidi MHum selaku Rektor Unilak, Fakhrunnas MA Jabbar seorang sastrawan dan juga jurnalis, serta Repol SAg selaku Wakil Ketua DPRD Kampar, ketiganya merupakan tokoh Kampar yang berpengaruh di Riau saat ini, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Di tangan ketiga pembedah ini, Kotau dikaji, dibincangkan hingga akar dan dasar. Diskusi semakin hangat ketika tokoh budaya Indonesia Rida K Liamsi juga hadir sebagai pembedah secara virtual melalui meeting zoom. Ditambah keahlian Bambang Kariyawan, seorang sastrawan yang tampil sebagai sebagai moderator dalam memandu jalannya bedah buku.
Fakhrunnas lebih menyorot karya Kunni ini sebagai seni untuk masyarakat yang dinilai kurang pas karena banyak bahasa-bahasa daerah yang tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Menurut Fakhrunnas, ini menyulitkan pembaca untuk memahami puisi Kunni tersebut, padahal semua karya dalam buku ini bercerita tentang adat tradisi Kampar Kiri.
Berbeda dengan Rida yang berfaham bahwa seni untuk seni. Begitulah memang seharusnya puisi. Tidak menjadi persoalan meski ditulis dengan bahasa ibu, bahasa lokal, bahasa asing sekalipun, sebab seni untuk seni. Tidak hanya itu, dengan tidak menjelaskan secara detil arti bahasa lokal dalam buku ini, justru akan memancing pembaca untuk mencari tahu.
Dr Junaidi lebih mengkaji secara dalam dari sisi akademisi. Kotau dinilai menarik karena menjadikan kearifan lokal sebagai inspirasi dasar sehingga lahir sebagai puisi. Junaidi juga menyebutkan beberapa kesalahan cara penulisan bahasa lokal dalam buku tersebut. Tapi Junaidi memberikan nilai plus yang lebih karena Kunni sebagai orang Siak atau Melayu menulis Kampar yang tradisi dan adatnya sangat berbeda dengan Kampar. Bahkan apa yang dilakukan Kunni sebagai sebuah tamparan keras bagi orang Kampar sendiri.
Sementara Repol SAg tokoh masyarakat Kampar yang memang berasal dari Kampar Kiri, juga memberikan beberapa catatan dan kekurangan untuk Kotau. Tapi Repol cukup memaklumi karena Kunni memang bukan orang Kampar atau Kampar Kiri. Bahkan Repol mengucapkan terima kasih kepada Kunni. Sebagai orang Melayu, Kunni mau bersusah payah mengkaji, mendalami budaya dan tradisi Kampar Kiri seperti semah rantau, turun mandi, mancokau ikan dan masih banyak lainnya, dan menulisnya menjadi puisi.
‘‘Kunni memang bukan orang Kampar. Tapi dengan membaca buku ini, saya melihat Kunni lebih dari Kampar Kiri. Kotau adalah buku bersejarah yang mencatat tradisi dan budaya Kampar Kiri hingga ke akar-akarnya ke dalam puisi. Saya sebagai orang Kampar tidak bisa menulis seperti ini. Terima kasih Kunni,’’ kata Repol.
Kuni tidak hanya menyampaikan mengapa dia harus menulis Kotau dan Kampar Kiri. Tapi, dalam acara tersebut juga diputar video perjalanan Kunni selama menggali dan mengkaji sehingga apa yang dicarinya menjadi puisi.
‘‘Alhamdulillah, buku ini tidak akan lahir tanpa dukungan dari banyak pihak. Terimakasih kepada Raja Gunung Sahilan, LAM Riau, Datuk Rida K Liamsi, sahabat semua dan juga seluruh keluarga besar Rumah Sunting. In sya Allah setelah membawa Kotau di Balai ini, kami akan mengaraknya ke jantung Kampar Kiri. Kampar Kiri istimewa dan sangat puitis,’’ kata Kunni.***
Laporan MUSLIM NURDIN, Pekanbaru