SASTRA, terutama puisi itu sangat chaordic. Memiliki daya lintas dan menyebar melewati batas-batas wilayah, seraya tetap bertahan dengan rasa lokal, dan bahkan parokial. Chaordic yang disediakan oleh puisi itu bergerak dari satuan paroki(al) atau tapak dusun terkecil lalu mengalami perluasan regional, nasional, internasional atau malah trans-nasional, seraya bergumam praksis dalam rasa lokal. Puisi itu juga adalah jalan tasawuf. Tasawuf juga mengalami fenomena chaordic, tersebab oleh puisi yang berpembawaan semesta yang digunakan oleh tasawuf. Ditambah dengan hentakan (musikalitas) yang menyertainya, sehingga dia menjadi suguhan sekaligus tontonan universitalitas dalam kadar serba lokal. Pasalnya? Ada semangat dan kebenaran universal yang disandang oleh setiap bait puisi dan hentakan musik yang menyertainya, termasuk Matsnawi yang dipanggul oleh Rumi, dan Konferensi Burung-burung Attar. Demikian pula semangat yang sama terselip dalam ajaran-ajaran kebijaksanaan Timur seperti Advaita Vedanta dari India.
Puisi, sejatinya menjinjit sekaligus memikul sesuatu “nan lain” (other/liyan). “Nan lain” itu bisa dalam bentuk jalan naratif, kuak dan kuit sekilas bak puisi telapak tangan dari Jepang (haiku); struktur teks (jika literasi), bisa pula struktur bunyi, atau malah jenis diksi dengan susunan serba fraktal, sehingga dia berkadar magis, menyergah, menyisip, menyusup ke sumsum dan bahkan novelty (efek lepuh). Adonis, seorang penyair Arab yang agak dianggap miring dalam laluan peradaban bangsa Arab hari ini, membongkar syair-syair Arab arkhaik, yang memikul kebenaran universal dalam kadar lokal yang kuat. Syair-syair itu dihafal di luar kepala oleh orang-orang Arab untuk sebuah pertandingan, termasuk pertandingan tentang Langit, nilai-nilai Langit dan kekuasaan Langit (liyan).
Efek chaordic puisi itu bak ajaran agama yang mengusung anjuran dan larangan, walau tersamar dalam sejumlah ambiguitas. Anjuran dan larangan itu dibungkus dalam rasa serba lokal. Terkadang dia berpembawaan laten (tersembunyi/ghost); meresap dan menyesap, dan tak mudah diterjemah (trans-literasi/interpretasi, tepatnya) ke dalam bahasa asing. Begitulah yang terjadi pada puisi-puisi Soetardji Calzoum Bachri, yang mengusung kaidah universal dalam rasa paroki(ial) itu; seakan mengalami penganiayaan dan “mati rasa” ketika, diterjemah ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dari Monash University Australia. Rida K Liamsi, berujar pendek tentang ikhtiar berpeluh Aveling ini; “Kojol Aveling nerjemah puisi-puisi (efek chaordic) Soetardji itu, kecuali puisi ‘tok tok tok’ “.
Tasawuf yang chaordic, puisi yang chaordic bak memikul tugas profetik (padahal memang memikul, bukan sekadar bak memikul). Tugas profetik itu dalam genapan anjuran dan larangan yang terhidang di dalam ajaran dan bait-baitnya. Di sini saya hendak menukil tentang larangan dan perintah yang berpembawaan mencerahkan oleh puisi sebagai alat kebudayaan; dan ihwal ini terdapat pula pada tasawuf sebagai satu jalan (instrument) mistisme agama yang memikul tugas yang sama sebagaimana puisi. Agama (dalam hal ini tasawuf) dan budaya (utamanya puisi) menyediakan dua ihwal yang mendorong seseorang untuk bertindak (aktif), atau hanya cukup berdiam diri (pasif). Perintah, anjuran dari agama atau budaya; Lakukan itu!, Pindahkan gunung itu!, Ambilkan gelas itu! dan seterusnya; Efeknya? seseorang harus melakukannya (aktif). Namun, beban dari perintah itu disesuaikan dengan kemampuan maksimum seseorang.