Agama dan budaya, tak meminta seseorang untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan dirinya. Lakukanlah sesuai dengan kekuatan yang ada pada diri mu, sesuai dengan nilai-nilai budaya mu. Tak perlu melampaui batas. Tak sanggup menunaikan shalat secara sempurna (berdiri), lakukan dengan duduk, atau malah berbaring sesuai dengan kemampuan maksimum mu saat itu (uzur). Di sini, manusia harus bertindak, melakukan sesuatu dengan perbuatan. Tindakan (aktif) itu adalah hasil dari sebuah perintah atau anjuran. Sehingga, tasawuf itu bukanlah sekumpulan teori, tapi serangkaian tindakan dan amalan. Puisi, sejatinya dengan efek chaordic itu menggesa orang untuk bertindak dan berlaku. Kini, heboh parade puisi melawan asap di negeri ini. Apa tindakan?
Dimensi larangan dari agama dan budaya; tak menuntut seseorang untuk bertindak atau berbuat (alias pasif). Jangan minum alkohol! Jauhi maksiat!, Jangan sentuh gelas itu! Bagaimana menunai larangan ini? Manusia tak perlu bertindak dan bergerak. Cukup berdiam diri dan “matikan badan” untuk tidak pergi ke kedai penjual alkohol, tidak ke rumah bordil, tidak perlu memegang gelas itu (pasif). Alias, larangan agama dan budaya sama sekali tak memerlukan usaha, alias gratis, tak perlu capek-capek melakukannya, alias tanpa modal. Cukup berdiam diri. Selesailah tugas itu. Derivasi larangan itu bisa dalam bunyi berikut ini; Jangan jual hutan, jangan bakar hutan, jangan jual kawasan gambut, jangan dekati, jauhilah! Nah, anjuran atau perintah itu, lalu dikemas dalam gaya puitikal, dalam “bahasa paroki(al) yang mudah dimengerti dan menyindir, kemudian menguntum menjadi hukum adat, dihafal jadi pantun, jadi gurindam, menjadi sejumlah kata bijak bersandar kaidah.
Efek chaordic puisi itulah yang dinanti dunia. Semua bersumber dari penyair yang mengusung kesadaran stoici (kesadaran yang saling menguntungkan); baik untuk dirinya sendiri, terlebih lagi untuk semesta dunia. Ada ketika dia diparadekan, ada ketika dia dikumpul dalam sejumlah halaman literasi, ada ketika dia digumam, ada pula ketika dia harus dilekatkan sebagai efek instalatif dan garden furniture; sebagaimana segala tembok kota dihiasi puisi, segala tiang dan cangkang jembatan yang tersisa dan tersia-sia oleh sisi desain ruang, dihias dengan serangkaian kata bernadi puitik, yang mendorong orang untuk merenung dan “mengalami” makro-mikro kosmos sekaligus. Tampilan kota dengan efek chaordic itu, lebih memperlihatkan sisi cult(ure)-nya sebuah kota, sebuah bidang kebun atau taman (garden/jardin/platz/plaat/plaza/place). Dan kita harus dan telah memulainya. Di tembok puisi itu…***