CERPEN RANTO NAPITUPULU

Perempuan Bernama Butet

Seni Budaya | Minggu, 20 Desember 2015 - 02:44 WIB

Pada hari terakhir disemayamkan, saat adat maralaman, tampaklah jelas semuanya. Setiap prosesi penerimaan tetamu yang masuk golongan raja ni tutur, decak kagum para pelayat selalu terdengar. Semua yang didapat oleh kelima anak laki-laki ayah di perantauan, dapat dilihat oleh orang-orang. Para raja ni tutur yang datang melayat sembari menaikkan doa-doa, diberi balasan hormat sembari menyelipkan uang lembaran merah menyala di jari-jemari mereka. Itu adalah kebanggaan. Harga diri. Juga diartikan oleh orang-orang sebagai tanda keberhasilan ayah dalam mendidik anak-anaknya. Dan kelima anak laki-laki ayah sangat senang dengan suara decak kagum yang terdengar itu.

Butet tidak berbuat apa-apa. Ia mengikuti bagian demi bagian dari prosesi pemakaman ayah. Ia tidak menggeliat, meski dengan cara yang paling halus sekali pun. Perempuan itu tahu, bahwa prosesi adat itu tidak salah. Maka ia ikut saja. Yang ia ikuti adalah prosesi adat itu, bukan keinginan kelima anak laki-laki ayah.

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

Setelah pulang dari pemakaman, semua keturunan ayah naik ke rumah. Dipimpin oleh anak sulung, dimulailah masyawarah. Dimulailah hitung-hitungan perihal biaya; berapa uang yang habis selama ayah disemayamkan sampai dihantar ke pemakaman. Hanya sebentar, hitung-hitungan pun selesai. Semua anak-anak ayah memberi kewajibannya untuk menutupi biaya itu, termasuk Butet.

Setelah hitung-hitungan selesai, musyawarah diteruskan ke pembagian harta peninggalan ayah. Kelima anak laki-laki ayah berbagi. Sawah yang di situ diberikan kepada si ini. Tanah yang di sana diberikan kepada si itu, dan seterusnya dan seterusnya. Hingga selesai, nama Butet tidak terdengar disebut. Dan Butet pun hanya diam, tidak protes. Katanya, itu adalah amanah adat. Entah kapan amanah itu diamanahkan.

***

Hujan sudah reda. Butet segera bergegas. Ia harus cepat-cepat pulang. Ayah sudah cukup lama sendirian di rumah. Seperti yang ia rencanakan saat hujan masih deras, kali ini ia harus menunda untuk singgah ke rumahnya. Itu tidak masalah. Hal seperti itu sudah sering terjadi. Suaminya sangat mengerti terhadap kondisi psikologis Butet sejak ayah sakit-sakitan. Ia tahu, sebenarnya Butet sangat tidak terima dengan apa yang dituntutkan oleh semua anak laki-laki ayah. Tetapi Butet harus merawat ayah. Butet sangat menyayangi ayah.

Degub jantung Butet tiba-tiba menggesa. Ia melihat beberapa orang berkerumun di beranda rumah ayah. Sepeda motor suaminya juga sudah ada di depan rumah itu. Butet menerobos kerumunan orang-orang. Ia langsung masuk ke kamar. Segera ia raih tangan ayah. Ia genggam erat tangan lelaki tua itu, lalu ia cium lembut. Sesaat kemudian, lamat-lamat, tangan itu terasa menjadi dingin, seperti dinginnya tempias hujan.***

Ranto Napitupulu, lahir di Pematang Siantar, 06 Juni 1965, bermukim di Tualang, Siak. Menulis cerpen dan esai di Riau Pos.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook