HUJAN turun amat lebat, sedari tadi, sejak hari menjelang sore. Akibatnya, perempuan itu tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyaksikan ribuan rintik hujan yang terhempas di atas tanah. Kadang kala percikan-percikannya tampak bagai titik-titik bulat dari berbagai warna; membentuk ribuan garis melengkung yang kemudian hilang begitu saja. Pada detik yang lain, air yang tercurah dari langit tampak seperti jutaan jarum, menusuk bumi. Ah, hujan…! Tidak salah juga jika banyak orang yang mangatakan, bahwa ia adalah misteri.
Tetapi bagi orang-orang sekecamatan di negeri kecil itu, hujan bukanlah suatu misteri. Hujan yang selalu turun hampir saban hari pada minggu terakhir ini, adalah kepastian; jawaban atas doa-doa panjang yang mereka lengkingkan ke langit. Jawaban atas pertanyaan apakah langit masih punya rahim untuk melahirkan ruh yang bernama hujan.
Bagi perempuan bernama Butet, —anak si ompung yang tinggal di ujung kampung itu, memang, hujan bukanlah misteri. Ia tidak terlalu pandai untuk menguraikan defenisi dari misteri. Tetapi baginya hujan sore itu, juga hujan pada sore-sore sebelumnya, adalah ketidakadilan. Ada banyak langkah yang harus ia tunda setiap kali hujan itu turun.
Seperti sore itu, Butet harus menunda langkahnya bersegera beranjak dari beranda rumah Tuan Baren —manteri satu-satunya di kecamatan itu. Padahal, ayah sebentar lagi sudah harus makan obat. Dan obat itu ada di tangan Butet. Padahal juga, ayah sudah menunggunya segera tiba di rumah, karena ayah hendak segera melanjutkan cerita tentang pertempuran pada masa pemerintahan revolusioner masa dulu. Ayah sudah terlanjur berjanji dalam hati, sebelum ia benar-benar pergi, ia harus menceritakan semua kisah pertempuran itu kepada Butet. Meski ia tahu, sebenarnya Butet tidak pernah berminat pada cerita itu. Bagi perempuan itu, kisah-kisah pertempuran di masa percobaan revolusi dulu hanya akan melukai hati saja. Hanya akan melahirkan rasa sakit saja.
Selain menunda bersegera menjaga ayah, Butet juga harus menunda untuk singgah sebentar di rumahnya —yang tidak begitu jauh dari rumah Tuan Baren, sekadar memastikan bahwa anak-anak dan suaminya sudah berada di rumah. Ya, Butet harus menunda itu. Sebab kalau hujan sudah reda, ia akan segera bergegas menuju rumah ayah. Memberi ayah minum obat, menutupi semua jendela, menyalakan lampu sumbu, lalu duduk di samping ayah; mendengarkan cerita ayah, hingga malam benar-benar rebah.
***
JIKA akhir-akhir ini ada banyak hal yang terasa sebagai ketidakadilan bagi perempuan itu, termasuk hujan sore itu, itu adalah luapan rasa pada sebidang muara di hatinya. Manakala kait kelindan dari banyak hal itu adalah tentang hari-hari tua sang ayah, maka, akan ada banyak hal yang menjadi tidak adil di mata perempuan itu.
Betapa tidak! Ayah punya lima orang anak laki-laki. Semuanya —setidaknya menurut mereka sendiri, adalah orang hebat-hebat. Semuanya orang-orang sukses! Mestinya ayah bisa menikmati hari-hari tuanya sedikit berbeda dari lelaki seangkatannya —yang anak-anaknya hanya bertanam padi di kampung. Mastinya, kalau ayah sakit seperti sekarang ini, setidaknya dirawat di rumah sakit kabupaten. Dijenguk silih berganti oleh anak-anaknya, menantunya, dan cucu-cucunya.