Hembusan angin dan tempias hujan tiba-tiba terasa menusuk. Dingin sekali! Butet tersentak. Ternyata, sedari tadi ia hanya berputar-putar dalam satu lingkaran kecil di antara percikan-percikan air hujan; di dalam rasa tidak adil atas tuntutan tanggungjawab yang tidak semestinya, dengan dalil: punya kewajiban yang sama.
Tadi, ketika matanya bermain-main dengan titik-titik air hujan, sempat juga berkelebat di ingatannya pada apa yang pernah dikatakan oleh anak ayah nomor tiga, sebagaimana juga dikatakan oleh anak ayah nomor empat.
“Sebagai anak, kita sama-sama punya kewajiban. Juga sama-sama punya hak. Meski sebagai anak perempuan, tanggungjawabmu juga sama dengan kami dalam hal merawat ayah.” katanya waktu itu, ketika Butet coba menghubunginya.
Bagi Butet, itulah kata-kata yang paling absurd, ambigu, sekaligus abu-abu, yang pernah ia dengar dari seorang praktisi hukum. Tidak jelas, apakah itu sebagai bahasa hukum atau sebagai bahasa adat. Sangat absurd! Bahasa-bahasa semacam ini memang acap dihunjamkan dan menjadi bias bagi perempuan dalam tatanan adat penganut paternalisme, seperti yang dialami oleh Butet.
***
DALAM dingin yang tiba-tiba terasa menusuk itu, Butet melihat ayah telah terbujur; berselimut ulos bercorak merah-hitam-putih. Di atas kepalanya ada bakul berisikan tumpukan bulir padi. Ada banyak ranting pohon dan beberapa tanaman perlambang ditancapkan pada tumpukan padi itu. Ada ranting pohon beringin, ada beberapa tajuk pucuk pimping, hanjuang merah, hanjuang hijau, bunga bakung dan beberapa ranting dari jenis pohon tanaman keras.
Butet tahu, dalam adat mereka, semua itu adalah simbol bagi ayah, bahwa ayah pergi sudah menyandang pangkat saur matua. Ayah sudah punya cucu dari semua anak laki-laki, juga dari anak perempuan, dan tak ada lagi anaknya yang tidak menikah.
Dalam dingin yang tiba-tiba terasa menusuk itu, terdengarlah suara gondang ditabuh; membubungkan jiwa-jiwa yang ingin dibubungkan, yang ingin berpesta dengan sang penentu kematian. Kaki-kaki dihentak ke bumi mengikuti rentak gondang, seperti menolak jejak para lelehur saat menaikkan tonggo-tonggo.
Butet berada di antara hingar-bingar suara; merasakan bias berpendar, memercik hingga ke ulu hatinya. Ia memang hanya bagian kecil dari barisan yang memanjang; melengkapi di urutan paling belakang, tidak sama dengan anak-anak ayah yang laki-laki, para menantu perempuan, atau bahkan dengan cucu-cucu ayah dari anak laki-laki.
Lima hari lima malam jenazah ayah disemayamkan. Butet melihat, dari ratusan orang yang datang melayat itu, tidak seorang pun yang tampak berduka. Jika pun ada, itu hanya dalam kata-kata saja. Begitu juga dengan kelima anak laki-laki ayah, tidak seorang pun yang tampak berduka. Malahan mereka tertawa saja adanya manakala memberi salam kepada para pelayat. Sesekali memang hanya melebarkan senyum saja.
Menurut amanah adat, entah kapan itu diamanahkan, kepergian seorang orangtua seperti ayah tidak perlu lagi ditangisi, karena ayah sudah saur matua. Beliau sudah punya cucu dari anak laki-laki dan dari anak perempuan, dan tidak ada lagi anaknya yang belum menikah. Pun kelima anak-anaknya sudah sukses semua di perantauan. Mereka sudah jadi orang. Maka tidak perlu lagi bersedih, malahan haruslah bergembira. Bah!