CERPEN RANTO NAPITUPULU

Perempuan Bernama Butet

Seni Budaya | Minggu, 20 Desember 2015 - 02:44 WIB

Tetapi tidak demikian yang terjadi. Kelima anak laki-laki ayah entah berada di belantara kota mana. Hari-hari tua ayah hanya mereka serahkan kepada seorang Butet. Hari-hari tua sang ayah yang membesarkan mereka, yang membuat mereka menjadi orang hebat-hebat, hanya mereka serahkan kepada seorang perempuan, yang mereka tahu, juga harus mengurusi anak-anak dan suaminya. Itulah menurut Butet ketidakadilan itu!

Sudah berulang kali Butet meminta, agar mereka menyempatkan diri pulang barang sehari saja untuk melihat sang ayah. Mungkin ayah ingin juga menceritakan kisah-kisah pertempuran itu kepada mereka, atau sekadar bernapak tilas lewat kata-kata; tengtang perjalanan hidupnya dengan orang-orang yang ia cintai.

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

“Ah! Namanya sajalah orang tua. Sakit-sakitan itu, biasalah.” begitu kata si anak sulung sewaktu ia dihubungi. Kata-katanya enteng saja, seperti asal lepas, seperti tidak ada beban.

“Mengertilah, Ito. Peluang untuk mendapatkan posisi dalam berkarir ini tidak datang sering-sering. Hanya sekali-kali, je! Aku sedang berjuang untuk itu, Ito.” kata si bungsu dari Malaysia. Bah! Lalu, dengan begitu itu, waktu untuk menjenguk ayah yang sakit-sakitan harus dikorbankan?

Yang paling tidak adil itu adalah kata-kata anak ayah nomor dua. Ia malahan menuntut tanggungjawab Butet sebagai anak yang tinggal di kampung; yang dekat dengan ayah, yang sudah mendapatkan ini dan itu dari ayah.

“Masa untuk mengurus orangtua sendiri kamu mengeluh,” katanya lewat telepon selulernya. Entah di negeri mana dia waktu itu. “Tunjukkanlah bahwa kamu adalah anak yang paling disayangi oleh Among, anak yang selalu disanjung-sanjung oleh Among, karena kamu punya perhatian yang besar kepadanya.” katanya.

Butet hanya bisa menelan ludah waktu itu. Andai kata ia mengatakan bahwa kata-kata itu teramat menyakitkan di hatinya, itu tidak ada gunanya; malahan akan kian melukai hatinya saja. Mungkin akan ada lagi kata-kata yang akan lebih melukai.

Posisi Butet dalam hubungan primordial adalah posisi yang harus mengalah; yang secara tersembunyi sebenarnya acap dimarjinalkan. Tampak seperti diberi tempat, tetapi sebenarnya tidak. Ketika sangat dibutuhkan, tempat itu seolah ada. Tetapi ketika persoalan menyangkut hak untuk menguasai, maka tempat itu hanyalah basa-basi semata. Itulah sebabanya Butet hanya diam ketika mendengar kata-kata anak laki-laki ayah. Ibarat dalam satu kerajaan, Butet hanyalah seorang petani; rakyat jelata, dan anak laki-laki ayah adalah para raja.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook