CERPEN

Pabaruak

Seni Budaya | Minggu, 08 November 2015 - 01:42 WIB

“Bagaimana mungkin orang-orang di sini masih berpikiran buruk terhadapku! Aku telah bersedia mengambilkan kelapa, sekalipun di sana dipenuhi karanggo dan kataburan. Bukankah orang-orang di sini, sudah lama tak memasak rendang dan gulai ikan? Seharusnya kalian berterima kasih. Bukan menuduhku!”

Ah, bagaimana mungkin Datuk Lembai dapat membaca pikiranku. Dia sungguh tersinggung. Tapi, tetap ada keganjilan yang menampak. Bahwa; Datuk Lembai dan baruak-nya itu, tidak seperti tuan dan peliharaannya!

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

Di bawah pohon kelapa, Datuk Lembai terus mengulur tali-temali.

“Panjek! Capek!”

Nun di atas, di antara pelepah, baruak-nya hanya termenung. Tampak tak mengerti perintah tuannya.

“Puta! Putalah! Putalah ka suok saroto kida!” Tapi, tak ada kelapa yang jatuh berdentum. Tidak pula mumbang. Sementara angin terus berhembus, membawa aroma yang terasa mencekik di tenggorakan. Bau itu. Bau itu! Huek!

Datuk Lembai mulai memaki. Hilang sudah kesabarannya. Dia mengikatkan temali ke pohon kelapa, lalu ikut memanjat bak beruk. Tapi belum sampai di separuh batang, Datuk Lembai menatap atas. Baruak menarik temali, lalu menggigit dengan bengisnya. Datuk Lembai balik memaki, saat peliharaannya berhasil memutus tali.

Baruak telah lepas dari ikatan. Semula hanya bergayut di pelapah. Tapi melompat kemudian dan melekat di lain batang. Lompatannya berlanjut. Dari nangka ke pohon manggis. Turun ke tanah, lalu berlari menuju lain pohon. Datuk Lembai mulai berteriak memanggilku, meminta pertolongan karena tak bisa turun dari batang. Aku sedang tak peduli, kecuali memandangi baruak-nya yang berlari. Di tunggul akasia, tampak baruak memandang atas, memeluk batang, lalu bergayut pada dahan...

Juita; tiba-tiba memekik di belakangku. Aku menoleh cepat, dan menangkap wajahnya yang tampak pias. Matanya memandang atas seraya menyebut nama. Aku mengikut pandangan. Baruak menggelayuti dahan demi dahan. Meraih lalu menggigit temali, yang pada ujungnya tergantung tubuh kaku. “Mak Awu! Mak Awu!” Mak Awu: membusuk menggayut diri.***

Padang Panjang-Payakumbuh, 2015

Catatan:

[1] putik kelapa

[2] beruk/monyet yang digunakan untuk memetik kelapa (bagian kebudayaan di Minangkabau yang masih digunakan sampai sekarang)

[3] panggilan untuk tuan beruk/orang yang bekerja sebagai pemetik kelapa dengan menggunakan jasa monyet

[4] penangkal penyakit

[5] bersuami monyet

[6] sangat mahir

[7] semut rangrang

[8] tawon

Boni Chandra, lahir di Payakumbuh, 25 Juli 1989. Bergiat di Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang. Pernah menjadi pemenang 1 lomba cerpen Hutanta, pemenang 2 lomba cerpen Etnika Fest FIB UGM 2015, pemenang 3 lomba cerpen Forum Sastra Bumi Pertiwi 2015, dll. Saat ini menetap di Padang.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook