CERPEN

Pabaruak

Seni Budaya | Minggu, 08 November 2015 - 01:42 WIB

“Bila sebentar lagi Mak Awu tak jua tiba, biar kuantarkan kau ke Pasar Padang Panjang. Kau bisa membeli kelapa untuk seminggu memasak. Atau, akan kucarikan pabaruak ke kampung sebelah. Bila tidak, biar aku saja yang menggantikannya. Toh, memanjat kelapa bukan perkara susah.”

Pertama, Juita mengutarakan rasa malu dan punya pertimbangan tinggi saat membeli. Kami memiliki pohon kelapa dan kenapa pula membelinya. Kedua, Juita sangat menghagai jasa orang walaupun kecil. Selama ini, Mak Awu banyak membantu. Artinya, biniku ini, alangkah enggan mengupah jasa lain yang seharusnya dijatahkan untuk Mak Awu.

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

“Terlebih bila Uda yang memanjat! Aku tak mau menjadi buah bibir, Da. Sebab hanya pekerjaan baruak yang demikian. Dan aku, tak sudi disebut balakibaruak[5]!”

***

Siang kembali timbul dan tenggelam. Seperti ini pagi, yang balik menjelang secepat senja melumat petang. Persis Mak Awu, yang tersiar hilang dan lagi datang. Lelaki pendek berkumis tipis, telah berkisah perihal untung nan malang. Baruak kesayangannya; telah hilang. Dijemput malam dari kandang.

“Baruak itu sabanasantiang [6]. Dia mampu memetik kelapa ber-karanggo[7] dan kataburan[8]. Tapi, apa dikata bila untung malang.”

Kabar Mak Awu yang kehilangan baruak-nya; cepat tersiar ke lepau-lepau, ke kampung sebelah, bahkan ke Pasar Padang Panjang. Pedagang kelapa mengisah iba. Sebab bersama baruak-nya, Mak Awu, tidak hanya memakan upah dari hasil memetik kelapa. Tapi juga mengajari sekumpulan baruak, yang tuannya, ingin bekerja pula sebagai pabaruak.

Pun bagiku dan Juita. Tentu saja, kami turut prihatin atas kehilangan yang menimpa Mak Awu. Tapi, bagaimana mungkin kami bisa bertahan tanpa kelapa. Artinya, bila ingin kembali mengenyam rendang dan gulai ikan, kami harus mengupah pabaruak kampung sebelah—untuk memetik kelapa.

***

Cerita tentang Mak Awu dan baruak-nya yang hilang, perlahan terlupa di keseharian. Barangkali karena banyak hal yang harus kita ingat. Sehingga kita, memang terbiasa melupakan lebih cepat. Usai Mak Awu berkeluh kesah perihal baruak-nya yang dijemput malam, kami, maupun orang kampung, sudah tak pernah lagi melihat kehadirannya. Mak Awu; turut tertelan kehilangan.

Semula, kehilangan Mak Awu dan baruak-nya, mulai digantikan oleh beberapa pabaruak yang datang dari kampung sebelah. Siapa pun telah dibebaskan mengeksekusi pohon kelapa di kampung kami. Tapi belakangan, para pemilik pohon kelapa di kampung kami, lebih suka mengupah Datuk Lembai, pendatang baru, yang punya peliharaan sama mahirnya dengan baruak yang pernah dimiliki Mak Awu.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook