Oleh Boni Chandra
TINGGI sudah mata memandang. Telah tampak; sekumpul bulatan berpeluk pelepah, mumbang [1], tupai menggirik dan lain pelepah di kejauhan. Namun, tak ada temali dan baruak[2] utusan. Atau teriakan pabaruak[3]—kala memerintah peliharaannya memetik buah.
“Ini minggu kedua, Uda. Bagaimana mungkin Mak Awu belum jua tiba.” Juita, mulai meremas baju kurung seraya menggigit bibirnya.
Juita memang semakin kurus ketika sedang gusar. Tiga hari sudah, dia tak memasak rendang maupun gulai ikan. Tapi bukan sekedar kekhawatiran akan seleraku, lakinya. Perempuan berbaju kurung ini, lebih mencemaskan Mak Awu, pabaruak kondang yang tak kunjung tampak kumis tipisnya.
Mak Awu, memang selalu datang ke rumah kami saban pagi. Biasanya, beliau singgah sebentar menyeduh kopi. Sesekali, Juita juga menghidangkan goreng pisang sekedar tangka jomalang[4]. Lalu pergi. Mendorong gerobak—yang di atasnya tengah bersimpuh seekor baruak bertemali, kapak, dan taji besi.
“Barangkali, Mak Awu sedang melatih baruak di kampung sebelah. Belakangan, semakin banyak saja orang yang ingin bekerja sebagai pabaruak.”
“Tidak biasanya Mak Awu tak tepat janji, Uda. Beliau akan tetap datang memetik kelapa. Walau untuk dua atau tiga hari memasak.”
Biasanya; bila sedang tak ada pekerjaan, aku akan menurut Mak Awu yang sedang memetik kelapa kami. Semula, aku memang sedikit risih, saat baruak-nya hendak memelintir buah. Cemas, bila kelapa itu, jatuh menimpa kepala. Tapi baruak itu memang terlatih. Dia selalu menjatuhkan buah tak jauh dari tunggulnya.
“Dari pada merenung, alangkah baik, bila Uda, menurut Mak Awu ke rumahnya.”
“Artinya, aku harus mengunjungi setiap batang kelapa bila ia tidak di rumah. Dan tak tahukah kau, begitu banyaknya pohon kelapa di kampung kita.”
Juita mematut masam. Tentu, bukan jawaban yang seperti itu yang hendak ia harapkan.