CERPEN

Pabaruak

Seni Budaya | Minggu, 08 November 2015 - 01:42 WIB

Ah, Datuk Lembai. Sebutan pabaruak, seketika melekat pada dirinya. Bersama baruak-nya, Datuk Lembai mulai menjelma legenda baru. Disamping bisa menjatuhkan kelapa lebih cepat, peliharaannyatak pernah takut pada kataburan yang beranak pinak, maupun karanggo yang beristana di pelepah. Baruak itu senantiasa patuh pada tuannya. Memetik kelapa merah, bila Datuk Lembai menarik tali. Dan menjatuhkan kelapa muda, bila tuannya itu menggoyang temali.

Kabar baiknya, kami bisa lagi menikmati rendang dan gulai ikan. Kami juga bisa meminta kelapa muda bila hendak meminum airnya. Tapi kabar lainnya, sebagian orang mulai menaruh pikiran lain. Ada yang berbisik menebar curiga. Ada yang mulai berkoar di lepau-lepau. Ada pula yang terang-terangan menghadap Datuk Lembai. Mereka menyatakan, bahwa lelaki paruh baya itulah yang telah mencuri—menjemput malam baruak milik Mak Awu!

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

Aku dan Juita, sebetulnya termasuk orang-orang yang berburuk sangka. Kami merasa kenal betul perihal baruak kepunyaan Mak Awu. Seperti yang kuceritakan sebelumnya, Mak Awu sering datang ke rumah kami sebelum berangkat kerja. Aku sendiri sering mengamati. Seingatku, baruak itu bertelinga sumbing. Barangkali bawaan lahirnya atau sengatan kataburan yang membekas.

Menurut desas-sesus, Datuk Lembai turut menampung para pabaruak yang ingin melatih peliharaan. Tampaknya, semakin banyak saja orang-orang yang ingin beralih pekerjaan menjadi pemetik kelapa. Barangkali, karena kian banyaknya pohon kelapa yang tumbuh dan upah pabaruak yang kian menjanjikan. Ah, kejengkelanku makin bersemi!

Tapi, aku sedikit beruntung dalam kemalangan lain di kampung kami. Setidaknya, kejengkelanku sedikit tertawar, karena beberapa hari ini, orang di kampung kami sudah tak banyak bergantung pada pabaruak. Bukan karena jasa lain yang berdatangan dari luar. Bukan pula karena kejenuhan pada rendang dan gulai ikan. Tapi disebabkan bau menyengat, yang seperti sedang mengepung kampung.

Ah! Kami tak lagi memiliki selera untuk makan. Bau itu menggerogoti rendang, gulai ikan, bahkan pisang apik yang Juita beli di Pasar Padang Panjang. Kau tentu percaya, bahwa aku tak sedang berlebihan. Aroma itu alangkah busuk! Menyusup udara setiap kali menghirup. Tapi, kebusukan itu bagai bangkai iblis, yang entahlah di mana.

Aduh. Aku hampir saja lupa. Tapi baiklah. Biar kuceritakan pula padamu. Karena kami tak sedang berselera makan, semalam, Juita telah membuat satu gagasan. Bahwa, alangkah baik bila kelapa tetap dipetik, lalu dijual ke Pasar Padang Panjang. "Petik saja kelapa yang sudah tua. Dari pada habis digirik tupai." Demikian dia berkata.

***

Aku menemani Datuk Lembai. Disamping memberi tahu tanaman kelapa yang kami punya, tentu saja, ada keinginan untuk mencari tahu perihal baruak-nya. Tentang asal-usul misalnya, kupingnya yang sumbing dan...









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook