Lalu kau pun bercerita: semenjak hubungan kami bubaran, ia tak pernah membalas SMS yang kukirim, tak pernah mau mengangkat telepon dariku. Well, kau merasa begitu larat? Mungkin. Hubungan kami memang telah berakhir, it’s over, kata film-film Hollywood. Dan ia tak lagi memukauku, bahkan jika aku tahu dirinya cantik, dengan body yang menarik.Hari-hari lunglai. Tak ada suara yang membuatmu merasa damai. Sesekali, kau ingat kawan-kawan lama yang ngendon dalam kepala. Begitu lama, bertahun-tahun. Aih, siapa kamu? Apa kamu diriku sendiri? Lalu siapa dong aku? Wah ini mah cuma sandiwara yang tak bicara. Capek. Monolog. Bisu yang mengisap lembab di ulang tahunmu. sama sekali tidak lucu!
Samar-samar, aku, mungkin kamu, mendengar ada yang tertawa. Begitu keras. Deras seperti hujan kemarin sore. Ah, kapan kau main ke rumahku? Kutunggu berwaktu-waktu, namun kau tak datang-datang. Ada banyak buku yang belum terbaca. Malah dikerubungi oleh debu. Katanya, kau kepingin mencari foto-foto pengarang yang kelewat umur. Mungkin, engkau bisa lama-lama menafsir di sana, mengunjungi situs-situs masa lalu yang tak pernah terbuka., juga membaca sebagian riwayat yang terpenggal. Aneh, kok, pengarang jadi tukang jagal? Apa dirinya tak mampu bikin autobiografi dirinya sendiri? Atau, semua itu dari dirimu sendiri?
Mungkin, kau akan bertanya begini, “mengapa dunia selalu berhubungan dengan angka-angka?”—supaya tak lekas lupa—(gema suara yang tak jelas berpantulan di batu-batu). Tapi mengapa selalu ada matematika, di arloji, kalender, juga usia? O ya berapa usiamu sekarang? Tuh kan angka lagi. Maaf, aku sudah lupa. Dan kau membayangkan dirimu menjadi orang-orang di masa lalu, yang tak pernah peduli pada usia, yang kalau ditanya berapa umurnya sekarang akan bilang, “Ya, waktu saya lahir, pohon itu masih segini, nih. “ sambil menunjukkan batas dirimu di cakrawala.
(Angka-angka itu, selalu kau benci sejak duduk di bangku sekolah berseragam putih-biru. Kau tak tahu, apakah dirimu benar-benar membencinya, atau tidak. Tetapi kau selalu merasa takut, jika guru menunjukmu untuk ke depan kelas, mengerjakan soal-soal. Dan seketika tubuhmu berkeringat. Betapa ruwetnya dunia, pikirmu)
Kemungkinan lainnya, tebakmu, di kota lahir juga puisi-puisi segitiga. Punya siapa? Kau tak tahu. Namun puisi-puisi terus berlahiran, mengucurkan tangis dan gembira. Narasi manusia bingung yang mengukir transkrip mimpinya. Ehm, kota ini sebenarnya dipenuhi dengan kesepian juga, di tengah hingar-bingar yang menghampar, selalu nada seseorang di sudut, menekuk diri, menuliskan sesuatu. Mungkin rada tertahan, mungkin penuh kegeraman.
Maka kau membayangkan lingkaran baru. yang selalu menjebakmu dengan ilusi-ilusi, bayang kupu-kupu, di mana kau tetap kembali ke tempat semula. Terkadang kau tak berani menatapnya. Ada kengerian yang muncul di sela-sela bola matamu, tetapi kau memaksakan diri untuk mengakrabinya. Dan nyatanya, tambah hari kau merasa candu kata-kata itu jadi banyak. Kau merasa jadi peternak, yang siap mengembang-biakkan kata. Meski akhirnya kau tahu, semuanya itu tak pernah ada. Segala hal yang tertulis, sesungguhnya tak pernah benar-benar muncul. Semuanya tinggal di sisi kepalamu.