Barangkali aku cuma tinggal sejarah. Sebab selalu ada orang gila yang muncul dari sajak-sajak, minta dituntun ke pintu cahaya. tetapi selalu ada matahari yang lain, nampak begitu pasi dan nyendiri. O, dusta yang laknat, mengapa tetap kukerat? Berapa banyak rindu yang tenggelam hilang di tengah pelabuhan sunyinya sendiri tertinggal perahu untuk melarung laut? Sayang, perempuanku juga lenyap, diminum hujan sampai demam dan aku terperosok ke dalam kangen yang ngilu membuka jajaran kenangan yang tumpang tindih dengan berita di halaman surat kabar hambar. Menakar kelakar yang tak lagi berdenyar.
Apakah aku menyesalinya? Akan kepergian perempuan itu? Mungkin. Barangkali aku akan kehilangan bibir untuk kucium setiap hari, atau percakapan basah yang mengingatkan hujan bakal turun berwaktu-waktu.
Namun selalu ada arca baru dari puisi jadi patung yang mutung. Meski nampak begitu murung. Betapa kelahiran ini telah mengambil separuh usiaku, mengingat wajah ibu. Meski aku terus saja menabung luka, menyimpan sobekan surat cinta yang tak jadi kukirim buatmu. Ah, cinta yang bimbang? Siapa yang pernah memberikannya alamat, sebuah buah tangan, atau sepotong ingatan buatmu? Aha, kelahiran ini pun sebenarnya tak lagi punya airmata sekadar menandakan perih atau gembira.
Kini usia terasa makin purna, sayang, kita tak pernah bisa untuk mencoba dewasa. Segalanya terasa makin samar sekarang. Dan ingatan diriku dan dirimu tetap saja meruang, menyebarkan getah sengit, yang terasa terjepit.
Sekalian saja, aku tulis dirimu. penuh dengan kalimat keluh di gelap kata-kata, mungkin di gang-gang sempit tempat tinggalku berkisah hal-hal biasa dan sederhana yang melulu terlupa. Tentang keganjilan kita, misalnya, yang melecut parut usia, supaya cepat lari mengejar waktu. Merasa menjadi Tuhan, menjadi seorang pencipta atau, mungkin kita berani menantang malaikat sekadar turut mencipta puisi? “Hahaha….” Kau tertawa begitu lega. Apa? Jangan-jangan sejauh itu, kawan. Nanti kau dicabiknya sampai terlunta.
Sayangku, puisi siapa yang benar-benar kau kenal? Chairil Anwar, W.S. Rendra, Sutardji, Taufiq, Sapardi, GM, Joko Pinurbo, atau penyair lain yang gigil mengudap peluh di jaket yang lusuh? Begitu hematkah dunia kita? Sempit dan terjepit. Seperti sebuah ruang kecil yang masih saja bertanya-tanya. Toh, dengan atau tidak adanya puisi dunia tetap berputar juga, kawan.
Pernah kau bilang, dulu sekali, sajak ini tak pernah sampai, cuma kata-kata rapuh yang mengeluh, mengelupas huruf demi huruf, cuma jadi sampah aksara. Menelanjangi pakaiannya di depan cermin, berlompatan. Dan kau? Ah ya, kau memungutnya dengan hati-hati sekali, supaya jangan ada yang disakiti, begitu kau bilang. Namun, siapa yang hilang? Selain para filosof abad lalu yang sibuk dengan enigma. Menghitung dirinya sendiri-sendiri. Seakan begitu bangga dengan kelinglungannya sebagai manusia. Seakan membuka metafora dalam tubuhmu.
Lalu dari kata-kata itu, kau menyaringnya sampai bening. Barangkali akan kau minum sebelum tidur. Supaya kau bisa bermimpi yang indah-indah saja. Tiba-tiba dengan ligat, kau memasukkan mereka dalam lembaran arsip di lemari buku juga ruas kepala. Mereka mencarimu, kawan. Mereka kepanasan, katanya. Minta dibukakan, supaya cepat keluar.
Oh, kawan, sebenarnya apa yang telah kau lahirkan? Kok, tambah hari rasanya dirimu tambah bingung. Ling-lungmu makin menjadi. Mencacah sejarah di negeri yang makin pudar ini. Kau capek? berbulan-bulan dikerjain puisi. Ke mana pacarmu, kawan?
Ia menjawab, lariiiiiiii….!!!!! pacarku, pulang kampung halaman, ketika aku kirimkan SMS yang setengah matang, sambil memandang sedap-sedap pohon ketapang, dengan kesiur angin telanjang yang nyunsep di halaman
O, kau tak lagi merindukannya? Kau tak merindukan bibir, payudara, mungkin vaginanya?
Ya, merci, aku tak lagi takjub pada kemilau cinta, katamu, cuma penjara.
Kasihan kau, kawan. How poor you are! Dan, malam itu, perempuan itu, bekas pacarmu pergi sendirian ke kampung halaman dengan bis malam menembus hujan dan kelokan. Tidak kau antarkan? Tidak! Pergi kau!