CERPEN ALEX R NAINGGOLAN

Surat dari Seorang Penyair

Seni Budaya | Minggu, 06 Maret 2016 - 00:01 WIB

Maka aku bayangkan, diriku akan hanyut bersamamu, tersangkut di reranting pohon tua. Di mana sungai terus saja mengalir, menuju ke muara entah. “Bukankah harus ada yang termaknai?” tanyamu sendu, bibirmu beku. Mengeja semua petuah, dogma, yang terselip di akar-akar cuaca. Ya, harus ada yang termaknai, ketika lembar hari berganti, sebagaimana kita yang terus saja berada di dalam antrian panjang.

Meski, seperti kau bilang, selalu ada yang berdetak, mengumbar sebuah jarak. Dan mengusir geriak-geriak gelisah yang terasa makin basah, di ujung jarimu. Begitulah, aku ingin menangis lagi seperti bayi. Menjenguk  nyala matahari pagi yang lesap ke dalam pori. Dan kelak akan lepai, tak mampu dikunci.

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

Cuma genang diriku. masuki lorong-lorong solitude terlelap dalam permainan kartu yang lungkrah di atas meja, terbuka. Meski  bagiku, tanggal lahir nampak semilir tak mampu dijaga, tanda diri yang telah lahir katakanlah, sebagai pahat jejak yang lama berkerak dari biografi tubuh di ruas kalimat, bicara syair yang ngembara ke negeri saga. Cuma genang dirimu, terapung-apung, tak mau timbul, mirip pelampung. Aih, siapakah kamu yang terus bercerita tentang prosa seputar vagina dan payudara?

Dan sebelum semuanya tiba, kembali seperti semula. Sebab kita berada dalam lingkaran yang sama. Aku tahu, kau akan kembali sebelum malam benar-benar malam, membawa kata-kata yang terjangkit birahi. Minta disetubuhi.

Maka  segera kulupakan Rimbaud, dengan negeri syairnya yang menelikungku dalam belantara angin, selalu ngalir dalam beku kata-kata. Pun  Paz, yang tak selalu pas melacak suara lain begitu asing dan dingin.

Cuma, diri, aku dan kamu, yang menggelar warna-warna luka. Melengkapkan detak jam, juga lembab lebam. Dan ada yang terus berputaran, tetapi bukan waktu. Ah ya, pengetahuan yang kau miliki selama ini dari buku, terasa sia-sia bukan? Sebab hidup bukan muncul dari sela-sela buku, melainkan dari anasir yang berkelir.

Apakah aku selalu bertemu denganmu? Kapan dan di mana? Apakah di sebuah pasar yang sesumbar atawa di tengah derau puisi yang makin parau. Biarpun, nyeri masih tinggal gentar. Lelaki  yang kerap mengasah belati kata sampai badannya berdarah. Tetapi  kata-kata selalu basah, lemah, dan lelah. Sudah saatnya kita berangkat tidur. Rapikan ranjangmu, cari hangat yang sempat terlewat. Mungkin di tempat lain, kita masih bisa merapikan imaji. Dan, lagi-lagi rambutmu terbayang lagi, basah sehabis keramas, begitu lemas seperti kata. Seperti kata.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook