SIAPA yang tak kenal Agus Sri Danardana? Kalau pertanyaan itu diajukan kepada kalangan yang bersentuhan dengan persoalan budaya, sastra, dan/atau bahasa di Riau, pastilah mereka mengenal nama itu. Telah hampir tujuh tahun Pak Danar (demikian beliau disapa) menakhodai kapal bernama Balai Bahasa Provinsi Riau. Telah hampir tujuh tahun pula pria gondrong ini memberi warna, terutama, pada dunia bahasa dan sastra di Riau. Telah tujuh tahun pula “ahli hisap” ini menebar benih persahabatan, menjadi teman curhat, menjadi lawan berdebat, menjadi mentor, menjadi guru tanpa menggurui, bahkan menjadi objek bully-mem-bully tanpa sakit hati.
Banyak pihak yang menyayangkan kepindahan beliau ke Sumatera Barat untuk mengemban tugas sebagai Kepala Balai Bahasa Sumatera Barat. Berikut ini kami cuplikkan untuk pembaca “Alinea” (kolom yang digagas oleh Agus Sri Danardana bekerja sama dengan Riau Pos sejak 2013) beberapa curahan hati Orang Riau tentang Agus Sri Danardana.
Adalah Boy Riza Utama, Pemenang I Lomba Menulis Esai Berbahasa Indonesia dalam kegiatan Bengkel Sastra se-Provinsi Riau 2015 menarasikan (dalam facebook) perjumpaannya dengan Agus Sri Danardana saat diutus mewakili Riau dalam kegiatan yang hampir serupa, tetapi untuk tingkat nasional di Jakarta.
“Mengapa esai saya yang memenangkan lomba ini, Pak?” kata saya kepada “Sesepuh” itu. “Saya tak melihat sebuah tulisan dari isinya, tapi dari cara menyajikannya. Kalau baik penyajiannya, isinya akan mengikut sendiri,” jawabnya. “Kamu harus lebih banyak lagi baca esai dari pengarang-pengarang dan penulis-penulis hebat. Goenawan Mohamad misalnya. Lihat bagaimana ia menulis “Caping” (Catatan Pinggir).”
Di Balai Bahasa Provinsi Riau sore itu saya bersama May Moon Nasution, dan “Sesepuh” itu (Agus Sri Danardana) terus mengembuskan asap rokoknya ke udara sambil bercerita tentang para penulis yang pernah ditemuinya (hidup-hidup) dan karya-karya mereka. Pengumuman pemenang acara Bengkel Sastra, yang ditaja Balai Bahasa besutannya, sudah lama usai. Piala telah diserahkan, juga uang tunai. Namun, saya begitu pula May Moon sepertinya, masih “belum selesai”. Ada “perhitungan” tak kasat mata yang sayang dilewatkan: bercakap (sekali lagi) dengan mantan Kepala Kantor Balai Bahasa Provinsi Lampung ini.
May Moon antusias sekali mendengar cerita tentang Sutardji; sementara saya mencuri dengar bagaimana kharisma seorang Rendra (alm). “Tardji itu kalau baca puisi sambil mabuk, nggak tahu beneran apa pura-pura,” kata dia. “Bukunya (O Amuk Kapak) di tahun-tahun itu, sangat ramai dibincangkan. Puisinya begitu sih.
....