CERPEN BAMBANG KARYAWAN YS

Manusia Salai

Seni Budaya | Minggu, 18 Oktober 2015 - 01:34 WIB

Manusia Salai
(ILUSTASI DANTJE S MOEIS)

MENYUSUT... daging yang membalut tubuh ini. Urat-urat mengecil dan menonjol disetiap sisa daging. Menghitam. Aku tak mengerti apakah teori evolusi Darwin memang telah menimpah aku dan orang-orang disekelilingiku. Asap yang selalu pekat menjadi asupan setiap hari dan membuat tubuh ini harus bertahan hidup dengan mengalami adaptasi serta penyesuaian. Tak penting bagiku mengapa ini bisa terjadi, yang terpenting adalah bertahan hidup dengan situasi ini.

Aku tak pernah berpikir kalau aku ternyata beda dengan orang-orang yang berada di luar daerahku. Kupikir ini hanya urusan diferensiasi ras. Semakin terasa beda saat dari berbagai daerah dan negara datang ke daerahku. Entah sekedar kunjungan atau untuk melihat keanehan disekelilingku. Salah satunya yang diperkenalkan kepadaku. Sarah, namanya. Lewat perkenalan dia menyebut sebuah daerah sebagai asalnya. Awalnya aku tak yakin  kalau itu adalah tatapan cinta. Mungkin hanya tatapan kasihan atau malah ngeri melihat keanehan dalam diriku.

Baca Juga :SBY-AHY Bertandang ke Hambalang, Partai Demokrat Resmi Dukung Prabowo

Beberapa kali kucoba menghindar darinya. Telpon, sms, dan ragam media sosial lainnya yang kumiliki dihubunginya berkali-kali yang mengatakan ingin bertemu dan berteman denganku. Aku menjadi semakin tersudut dalam ketidakpercayaan diri setelah mengetahui bahwa aku dan masyarakatku dikelompokkan dalam ras unik dalam kelompok manusia. Mereka menyebutnya homo asapiens. Ras manusia yang mengalami degeneratif karena menghirup asap setiap hari.

Asap di daerahku sepertinya telah berubah wujud menjadi temannya awan. Dihilangkan dengan beragam cari tak mampu hilang. Bahkan semakin menggila dan sepertinya memiliki kaki balerina yang dengan riang akan berputar ke sana kemari dengan bahagia. Tanaman yang biasanya berwarna hijau, di daerahku penuh dengan bintik hitam yang disebabkan oleh klorosis dan  nekrosis.

Beragam teknologi manusia, bermacam bangsa, dan cara tradisional sampai tercanggih dilakukan untuk menyedot asap dari ruang udara daerah kami. Namun nampaknya Tuhan belum memberikan tanda setujunya untuk menyingkirkan asap ciptaan-Nya. Sehingga akhirnya semua angkat tangan. Pemerintah yang dulunya berjanji akan menuntaskan masalah asap yang telah terhirup belasan tahun, hengkang dan pura-pura berdalih disebalik nama Tuhan.

Masyarakatku memang sempat dievakuasi besar-besaran ke daerah lain. Ada yang berhasil beradaptasi dengan penduduk setempat, namun tidak juga kalah banyaknya yang kembali mengingat kenangan akan tanah asal tak pernah dilupakan. Termasuk aku, orang tuaku, dan kerabatku. Sangat tak tega meninggalkan kepingan-kepingan kenangan di rumah, di atas tanah, di tepian sungai, dan diketersesakkan udara karena asap.

Kembali ke Sarah. Melihat usaha kerasnya, Jamal, teman karibku, membuka pandanganku untuk menerima persahabatan yang ditawarkannya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook