Di sini Camus adalah sosok mistikus yang menjinjit syihir ke tengah dunia. Dia sejatinya adalah seorang gnostik (pejalan “tasauf”) di lebuh sebelah. Bukan di lebuh awam. Malah bukan agnostik. Dia mengembara dan berkelana di lebuh tak ramai, di lebuh diam dan senyap. Di lebuh bergelombang belum diter (aspal). Selorong lebuh yang tak mulus. Berkabut tebal di semua sisi; ya, dalam ketemaraman berjenang. Bahwa orang harus memetik ranumnya kedamaian, mesti melalui lubang hitam yang diterjemahkan oleh pastor yang dibayar negara untuk menenangkan batin para tawanan yang akan ditembak di tanah perkuburan menjelang fajar menyibak. Bahwa pastor tak mungkin mengkhianati Tuhannya. Seolah dia bisa mencelis cerita damai kepada para tawanan yang segera akan menjalani eksekusi tembak di kala fajar merekah. Itu sebuah khayali samawi yang diukir para pastor yang mencari selamat di depan altar raja, bukan altar Tuhan. Si Pastor berbincang tentang Tuhan kepada seorang remaja (salah tangkap) yang akan menjalani hukum tembak di sebuah dini hari. Dia meyakinkan kepada remaja itu tentang kedamaian yang menanti di alam kubur sana. “Aku akan bersama mu, demikian juga Tuhan yang Maha baik. Nanti kau akan melihat, betapa mudah semuanya itu”. Si remaja salah tangkap ini, terdiam. Percayakah si remaja ini? Pastor sekali lagi berbincang tentang Tuhan, bukan dengan Tuhan. Akhirnya si remaja itu percaya; “karena dia tahu tidak ada sesuatu yang lebih penting dibanding kedamaian yang menantinya. Tetapi, justeru kedamaian itulah yang membuatnya ngeri”.
Kita boleh mengklaim terlahir dari tanah batin, tanah syihir, tanah tinggi, tanah emas dan tanah segala gemala. Tetapi, semua yang tinggi dan ranggi itu tak lebih dari bayang-bayang yang mendorong setiap orang untuk menerjemah segala kerenah ganda dan jamak yang terhidang di dalam warna nan legam (bayang-bayang) itu. Pun, kopi menghidang warna nan legam. Yang ceria dan benderang dari kopi itu adalah keriangan sang penghirup dan penikmatnya. Di atas keriangan itulah para penikmat menerjemah kopi dalam serba niskala dan tak kan niscaya. Semua terjemahan dan pandangan makna ganda itu adalah sejenis pembelaan. Pembelaan itu pula adalah genus dari dari tradisi. Dan setiap orang atau pun komunitas memiliki tradisi. Dan sekali lagi, Camus menyergah kita bahwa: “tradisi ku memiliki dua aristokrasi; yaitu akal budi dan keberanian”. Maka, apakah bilangan, kedamaian atau pun kopi itu, memiliki dua aristokrasi untuk kita usung dalam majelisnya masing-masing, sehingga dia (bilangan, kedamaian dan kopi itu) juga berpembawaan menyergah?***