OLEH: YUSMAR YUSUF

Damai Kata

Seni Budaya | Minggu, 22 November 2020 - 10:54 WIB

Damai Kata

Kata-kata itu bukan persoalan lahiriah. Dia tak sekadar memikul makna zahir. Setiap kata mengandung makna batin. Dalam makna batin kata-kata itulah, termuat cinta, damai, kasih dan sayang universal yang berlaku umum untuk segala makhluk.

Manusia diadakan (dicipta) bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk mengawal “tugas-tugas penciptaan” ke atas hewan, terhadap tetumbuhan, gunung, sungai-sungai, terhadap segala biota dan bahkan makhluk a-biotik yang ada di muka bumi. Ketika bertindak selaku pengawal ke atas “tugas-tugas penciptaan” itu dinisbatkan kepada manusia, maka manusia menjalaninya tidak dengan aturan tekstual-formal, tetapi dengan jalan batin, jalan cinta. Melalui jalan cintalah, kita bersentuh dan berdialog dengan dedahan-ranting dan dedaunan, manusia bisa berkisah dengan segala hewan, manusia berinteraksi dengan segala batu, pasir, air dan angin. Jalan ‘batin’ ini ditempuh, karena manusia adalah makhluk batin (spiritual) yang haus akan pemerkayaan batin dari waktu ke waktu. Pemerkayaan itu terjadi berkat interaksi manusia dengan segala makhluk di sekitarnya secara mewaktu.

Baca Juga : Laman Rumput Hijau

Kata-kata tak setakat memikul arti fisik. Tak terbatas pada makna lahiriah semata. Dia memiliki makna dan arti yang bertingkat dan berlapis-lapis. Para penyair, terkadang berupaya mengorek dan menghidang makna batin dari sebuah kata. Namun, tetap terhalang, karena mereka mendedah kata-kata tidak dengan hidangan cinta. Penyair, menulis syair karena dihajatkan untuk menjadi penyair. Syair atau puisi juga menjadi medium bagi kaum sufi (tasawuf); akan tetapi seorang sufi menulis syair dan puisi tidak dihajatkan untuk menjadi penyair. Kata-kata yang menghidang makna berlapis-lapis itu dapat direngkuh dalam modus berikut ini; Sekarang mari kita hidang satu kata “kelapa”. Di sini, kelapa tak hanya wujud dari benda yang bulat (terkadang lonjong) yang dibalut kulit. Bahwa kulit itu sendiri terbentuk dari sabut-sabut yang bersilang fiber (serat) yang berlapis-lapis, di belakang sabut masih terdapat tempurung (batok); lalu ada isi berwarna putih yang melekat pada lingkar tempurung, di tengah itu ada genangan air nan manis, dan terkadang terdapat biji di antaranya. Kaum sufi mengambil biji itu. Penyair menyingkap makna analogis (aforisme); sementara sufi mencungkil makna anagogis (makna spiritual terdalam) dari sebuah kata (biji).

Ayam tak sekadar makhluk. Dia memikul “tugas penciptaan” yang dikawal oleh manusia. Ayam yang menetas, harus dipelihara, diberi makan, dirawat sampai besar. Setelah layak dikonsumsi, barulah manusia boleh mengambilnya untuk dijadikan makanan (bagi keperluan nutrisi tubuh manusia). Artinya, anak ayam tidak boleh disembelih untuk dikonsumsi. Tugas manusia sebagai pendamping terhadap “tugas penciptaan” ayam adalah memelihara, merawat ayam itu sampai besar dan layak dikonsumsi. Demikian pula tanaman. Dia ditanam dalam rentang waktu tertentu. Setelah layak dikonsumsi, baru dia boleh dipetik atau dipanen. Tak hanya itu, ‘kursi’ juga memikul “tugas penciptaan”, walaupun kursi itu dibuat oleh manusia. Dengan memikul tugas selaku pengawal atas “tugas penciptaan” kursi (di dunia idea), manusia harus merawat kursi, membersihkannya, mencat, memvernis, agar dia layak untuk diduduki, sedap dipandang. Bahkan, ketika kursi itu memikul makna “kuasa”, maka orang tak boleh seenaknya mencuri kursi atau mengambil kursi (DPR) atau kursi Bupati atau bahkan kursi Presiden. Ada tata cara dan aturan main untuk memperoleh kursi-kursi itu. Makna batin kursi hanya bisa disentuh dan diseduh lewat jalan cinta. Di sini cinta hanya dapat dirasakan, bukan difikirkan. Jalan cinta, merupakan sumber ilmu esoterik (gnostic@batin); menjadi pangkalan bagi pengalaman dan ide-ide spiritualitas. Dan hal ini merupakan pengetahuan otentik. Cinta bukanlah pengetahuan keilmuan eksoteris dan logis.  

Bertindak santun terhadap semua ciptaan Tuhan, bukan hanya kepada manusia, akan tetapi kepada segala ragam ciptaan Tuhan di alam semesta. Ini juga dikenal sebagai jalan ihsan dalam pemikiran Seyyed Hossein Nasr. Ihsan menurut Nasr;  “Puncak pencarian manusia adalah hidup dalam keintiman dengan Tuhan, kondisi ketika aroma dan nuansa kasih sayang, cinta, kedamaian dan keindahan benar-benar dirasakan”. Ide-ide sufisme falsafi pada umumnya menekankan pada kesatuan eksistensi, yaitu penyatuan atas dasar cinta. Gagasan ini memang sulit untuk dilukis dan dijelaskan lewat kata-kata, termasuk idiom dan bahasa apa pun. Namun dia ada dan eksistensial. Inilah yang dimaknakan sebagai gagasan universal kemanusiaan yang bergerak horizontal terhadap segala makhluk ciptaan nan ragam di alam semesta itu.

Kata-kata bisa menyapa lewat ayunan hati. Maka sapalah segala hal dan semua ihwal dengan hati (batin). Kedamaian hanya bisa diperoleh lewat jalan cinta, bukan amarah yang membuncah. Sentuhlah kata-kata pada dinding batin kata-kata. Cuitlah dengan halus, maka kata-kata akan menjelma bak makhluk batin yang menghidang kedamaian. Kata-kata tak bisa dipeluk, namun makna batin dari kata-kata bisa dipeluk oleh manusia. Agama dipeluk, karena agama punya ruang batin. Ideologi juga dipeluk, karena ideologi itu punya rumah batin. Syair-syair yang digubah dalam seni-kata (balaghah) yang kuat akan membuat sebuah lagu seakan menghamparkan  ‘samudera batin’ bagi yang melantun dan apatah lagi bagi yang mendengarnya.

Baca Juga : Hari-Hari Marwah

Setiap zaman menciptakan sakralitasnya masing-masing. Setiap zaman menyongsong alam batinnya sendiri-sendiri. Tatanan etika yang dikonstruksi setiap zaman memang banyak dan ragam, tapi yang paling mendasar dari segala tata aturan etika (akhlak dan moral) adalah cinta. Karena, tidak ada aturan etika, kecuali satu, yakni cinta. Dengan cinta, air mata bisa membelah batu. Lewat cinta, laut bergolak jadi tenang untuk direnang. Lewat cinta, buah kelapa hanyalah fenomena niskala, yang berubah jadi noemena niscaya. Damai di bumi hanya ada lewat jalan cinta. Mereka yang mencinta tak kan pernah meruntuh dan memusnah. Sebab, lewat cinta segala ihwal tak diletakkan sebagai sumber daya, namun diposisikan sebagai nan kudus (the holy). Bumi, lewat jalan cinta bukan sumberdaya yang harus dikuras, tetapi bumi adalah nan kudus (the holy) yang mesti diwariskan kepada… Ya, kepada para pencinta  selanjutnya.

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook