OLEH: YUSMAR YUSUF

Hari-Hari Marwah

Advertorial | Minggu, 30 Agustus 2020 - 11:25 WIB

Hari-Hari Marwah

Energi dan waktu, habis hanya untuk berbicara tentang marwah. Segala sesuatu perbuatan yang dilakukan, selalu diembel-embeli dengan “demi marwah”. Seakan kita pernah kehilangan marwah yang bergitu bernilai. Untuk mendapat dan membangun marwah, tak cukup dengan wacana marwah dan serba marwah, lalu diperbincangkan saban hari bahkan saban detik. Bahwa marwah itu bisa hadir dan menyembul, ketika setiap orang melakukan segala perbuatan dengan kadar nilai dan selera yang besar dan tinggi. Tak perlu pula, diukur bahwa karya besar hanya dilahirkan dari tangan-tangan orang kaya atau berkuasa, karena belum tentu yang dihailkannya sebuah karya yang bermarwah.

Orang kecil sekelas petani dan buruh pun bisa menghasilkan perbuatan bermarwah, asal dia dilandasi dengan keluhuran budi dan bermanfaat bagi segenap makhluk. Nyatanya hari ini, marwah seakan hanya diperoleh melalui wacana, sebutan, ujaran atau yel-yel dan jargon. Tak tau menempatkan, bila dan kapan marwah dijinjit, marwah diperkatakan. Kita telah mengalami amnesia mengenai sesuatu yang bernama marwah. Terkadang, ihwal-ihwal sepele pun dilekatkan dengan hal-ihwal berbau marwah; mengenakan baju Melayu, demi marwah, menyelenggarakan PON, juga demi marwah. Menjadi bupati, camat sampai kepala desa, juga demi marwah. Menjadi ketua panitia kenduri perkawinan juga demi marwah.

Baca Juga : Laman Rumput Hijau

Sehingga marwah pun mengalami kebingungan dan kehilangan marwah. Sebuah bangsa yang menghabiskan waktunya untuk memperkatakan marwah dan demi marwah, sesungguhnya adalah gambaran dari bangsa yang kecolongan marwah atau malah tak memiliki marwah. Atau malah lebih ekstrim dari itu, bahwa bangsa atau suku itu sama sekali belum pernah mengecap manisnya marwah. Sehingga, sekecil apapun perbuatan dan pekerjaannya selalu disangkut-kaitkan dengan marwah; melangkah dari rumah lalu pergi berpesiar ke rumah tetangga pun dianggap sebagai ‘demi marwah’.

Kemerdekaan adalah marwah segala bangsa. Bangsa yang telah merdeka, tak pernah lagi membicarakan marwah. Namun mereka lebih banyak bertindak, dan mengisinya dengan tindakan-tindakan kreatif namun bernyawa marwah. Dalam diam mereka berbuat, dan menghasilkan karya-karya agung, temuan-temuan monumental, menapaki alur kreatif dalam dunia industri kreatif. Anak-anak mudanya terjun secara kreatif dan bergemuruh dalam gempita pasar global, pasar industri kreatif dan sejenisnya. Mereka tak pernah sekalipun mengusung kata-kata ‘demi marwah’. Orang Jawa berumah tepi Borobudur yang monumental itu, secara diam-diam, tiada pernah berhenti bekerja dan berbuat, mengukir kayu, mengukir batu, memecah batu, kemudian jadi arca, patung dan barang kerajinan lainnya; membatik, dan mengisi pasar dengan keriuhan lokal yang berdenyut. Nadi ekonomi bergerak, tanpa ada sigau pekik marwah dan demi marwah.

Orang Jawa, Makassar, Bugis, Mandar, Batak, Banjar, juga tak pernah lagi bicara marwah. Karena mereka memang telah memegang dan memeluk marwah itu jauh-jauh hari. Kita? Hanya menjadi seorang penari yang mengisi acara PON saja, heboh memekikkan kata marwah dan demi marwah. Ingat! Bangsa yang bergairah memekikkan sesuatu, berarti dia belum punya sesuatu itu. Mereka yang belum memiliki mobil, selalu memekikkan kata mobil, mereka yang tak punya kebun, akan memekikkan kata kebun. Namun, setelah mereka memilikinya, mereka akan diam. Begitulah marwah, bergentayangan di tanah yang dihuni oleh orang-orang serba murah.

Semakin kuat dan pekik yang dilolongkan “ demi marwah” sejatinya marwah itu sirna dan menghilang, atau malahan berubah wujud menjadi serba murah. Secara tak sadar pula, kita pun bisa memenggal atau menyembelih marwah dengan menggunakan instrumen bernama marwah pula. Marwah diringkus oleh marwah. Sehingga muncul serba niskala tindakan dan perbuatan dilakukan demi marwah dan untuk membunuh marwah yang lain. Ketika kita menegakkan marwah kita, saat bersamaan kita tengah menginjak marwah orang lain. Begitulah sisi mata uang dari semua perbuatan yang dialamatkan dan disandarkan demi marwah dan serba marwah. Mereka yang mengusung idiom dan jargon serba marwah, adalah mereka yang tak bisa mengarisi “kekalahan” yang sejatinya sebuah kemenangan yang terhambat. Kenapa gamang dengan kalah dan kekalahan, jika kekalahan itu membawa kita menjadi orang bijak dan senantiasa cerlang mata batin dan akal budinya. Kenapa mesti galau jika kalah dan kekalahan menerpa hidup, jika kekalahan itu menjadi pupuk spiritual kepada kita secara individu untuk lebih bijak dan kreatif meniti hidup?

Antara marwah dan kekalahan, terhidang padang lamun serba maki hamun. Kita tak siap kehilangan marwah, seakan-akan setelah marwah disandang di badan, dia tak kan pernah hialng dan pergi meninggalkan badan. Padahal marwah itu sendiri hasil dari peliharaan yang seksama dan bermarwah pula. Dia bukan kelambu yang bisa menghindarkan tubuh kita dari sengatan nyamuk, dan senantiasa mengurung kita dari amukan naymuk. Namun, kelambu yang dibentangkan itu pun perlu pemeliharaan nan seksama dari sang pemilik. Kelambu itu sesekali dicuci dan dijemur, sehingga dia tak menjadi sarang menyakit, termasuk sarang kepinding. Demikian pula marwah, dia adalah hasil peliharaan nan seksama dan kontinu dari sang pemilikinya. Ketika marwah disangkutkan dengan eksistensi lahan dan tanah, maka kita berkewajiban memelihara dan merawat lahan dan tanah itu menjadi kebun yang produktif. Namun, ketika lahan itu terbiarkan semak samun, tak diurus, lalu dengan konsisten kita menuntut marwah atas lahan itu, maka tindakan seperti adalah sebuah perbuatan konyol dan memalukan. Dengan begitu, marwah bukanlah sebuah ikhtiar yang diraih dengan sekali dapat. Dia harus dirawat secara kontinu dan berkesinambungan, diraut, dibenihkan, ditanam, disiangi, lalu dipupuk sehingga dia muai dan ranum siap dipetik dan dipanen, walau dalam suasana apa pun.***

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook