ESAI SASTRA

Estetika Diam Mat Syam

Seni Budaya | Minggu, 21 Februari 2016 - 00:45 WIB

Oleh Ramon Damora

TERPUJILAH Bujang Mat Syamsuddin. Ranumlah semua karyanya yang ditulis atas nama kalam: BM Syamsuddin a.k.a BM Syam. Hari ini, 19 tahun yang lalu, salah seorang sastrawan Melayu yang sempat menjulang pesonanya di pentas literasi tanah air itu menutup mata untuk selamanya. Kita masih saja tergetar melihat semangat yang ia wariskan. Terutama kehendak yang demikian kokoh menjadikan sastra sebagai parau lenguh suara zamannya.

Baca Juga :Pastikan Rekondisi Jalan Selesai Akhir Tahun

Di tengah kepanikan banyak pihak, bahwa sastra Indonesia hari ini kian terasing (baca: mengasingkan diri) dari realitas masyarakat kiwari, karya-karya BM Syam seakan menjadi pelipur lara. Ia tak hanya berambisi mengusung teks ke dalam apa yang oleh sosiolog diistilahkan mirror (cermin). Tetapi juga berjibaku menjadikan prosa-prosanya bernilai mimesis, insan tiruan,salin-rupa umat semasa.

Yang membuat posisi kepengarangan BM Syam diperhitungkan, adalah ia seorang “pemeluk teguh” di barisan ini. Barisan kaum penghayat kerja sastra yang percaya, naskah raksasa mestilah merefleksikan zamannya. Bila pun terbersit noda bid’ah dalam proses kreatifnya, sungguh itu semata pengingkaran akan kementahan, menolak copy-paste realitas kehidupan tanpa tafsir. Sebab pada hampir semua cerita pendek BM Syam kenyataan hidup tak lebih dari sehelai kertas karbon legam-buram.Karena itu, harus dilapis kembali dengan penafsiran yang kalis lagi estetis. Kapan perlu, disiram serbuk emas perada. Estetika Melayu, namanya.

Lahir sebagai Melayu, menggenggam estetika Melayu, menulis pelbagai realitas duka lara Melayu dalam tebaran cerita fiksinya, sejenak kita terhenyak. Bertahun-tahun lamanya Mat Syam berjuang sendirian mengusung bahasa (dan penderitaan) Melayu di tengah ingar-bingar kesusastraan nasional.Tema-tema cerpennya sungguh tak berhijab dengan problem sosial kemelayuan dan karenanya selalu mengandung pesan kritik yang tajam.

Menyebut beberapa misal, singgunglah cerpen "Taikong" yang mengisahkan desakan seorang ayah agar sang anak mengikuti jejaknya meraup untung besar kala menyeberangi selat secara gelap. Ada pula nestapa "Suku Sakai dalam Pemburu Rusa Sepanjang Pipa", kisah serakah pembangunan pada "Batam Perburuan", hingga ratap seorang Sri Banun, dara berparas jelita yang terpaksa mengangkut air setiap harinya, karena sumber air bersih terhalang akses PT Timah di daerah Dabo suatu ketika. Semuanya ditulis mendiang tatkala mengaruk, menggugat,sebuah sistem yang mapan belum segampang menggaruk —maaf— pantat, bahkan di halaman istana presiden sekalipun, seperti sekarang.

Siapa dulu yang punya nyali temberang walau hanya di pagar halaman belakang Cendana? Persis pada tahun 1990 –setidaknya menurut dokumen kontroversial George Junus Aditjondro– di dalam kediamannya Soeharto sedang bagi-bagi lahan untuk para penerus nasab. Lahan tol dan penerbangan buat Mbak Tutut. Industri otomotif untuk Mas Bambang.

Lahan cengkeh, siapa lagi kalau bukan jadi milik Tommy. PT Kembang Cengkeh Nasional (KCN) baru saja dibentuk kala itu.Tommy Soeharto telah meninggalkan posisinya sebagai pemegang saham terbesar kroni sebelumnya, Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh (BPPC). Para pengusaha rokok yang dulu dipaksa beli cengkeh ke BPPC, kini dititahkan harus pindah ke KCN. Pangeran Cendana itu dengan cepat menularkan demam uang cengkeh ke berbagai pelosok nusantara.Tak terkecuali "Natuna.Euforia" rupiah-senang menyebar bagai wabah.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook