MADAH POEJANGGA

Mengikat Sastra Serumpun

Seni Budaya | Minggu, 20 Maret 2016 - 12:10 WIB

Mengikat Sastra Serumpun

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Berbeda dari biasa. Laman Madah Poedjangga tadi malam, dipenuhi banyak penyair Riau. Perbincangan sastra yang digelar di lantai II Graha Pena, panam tersebut tidak hanya menghadirkan pembicara dari Riau, tapi juga mancanegara, yakkni Singapura. Sastra klasik pun menjadi perbincangan hangat. Mulai dari pantun, puisi, teater dan lain sebagainya.

SPN Ade Dharmawi adalah pembicara dari Riau. Sedangkan Anie Din atau yang dikenal dengan Bunda Din, datang dari Singapura. Pertemuan antara kedua pembicara tersebut bersama dengan audiens yang hadir, merupakan pertemuan dua negara; negeri serumpun. Tukar cerita, pengalaman dan perkembangan sastra klasik pun berjalan lancar. Bahkan beberapa perbincangan, selalu ada perbandingan perkembangan antara Indonesia, khususnya sastra klasik Riau dengan Singapura.

Baca Juga :"Jaga Kelestarian dan Nilai-Nilai Budaya Melayu"

‘’Pantun adalah sastra klasik yang memang punya kita orang Melayu. Ia berbeda dengan karya sastra lainnya. Hampir tidak ada hari orang tidak berpantun di Riau ini. Berbagai kegiatan, berbagai sastra lisan juga diawali dengan pantun. Pantun merupakan sastra klasik yang membuat kita berfikir sistematik. Belum selesai kita ungkap bait pertama, kita harus fikirkan bait berikutnya,’’ kata Ade.

Sastra selalu berubah. Begitu juga dengan pantun dan sastra-sastra lainnya. Tapi, sampai kapanpun pantun tetap merupakan karya sastra yang terikat.  

‘’Kalau ada pantung yang tiga baris atau dua baris, ya dicarilah nama lainnya,’’ sambung Ade.

Disebutkan Bunda Anie Din, Sastra adalah salah satu jalan untuk bersilaturrahmi. Antara Indonesia, khususnya Melayu Riau dengan Singapura, sangatlah dekat. Sejak kecil, pantung dan sastra klasik sudah didengarnya. Sayang, semakin hari semakin hilang seiring dengan semakin berkurangnya orang Melayu di Singapura.

‘’Saya merasa tidak lagi tinggal di negeri Melayu. Orang Melayu di Singapura hanya tinggal 20 persen. Selebihnya bukan. Makanya, saya gegep gempita, undang kawan-kawan, gaungkan pantung kembali di Singapura belum lama ini. Saya sedih. Dulu waktu kecil, semasa umur 5 tahun, atuk selalu berpantun. Pantun dilagukan. Maknanya, sastra klasik ini usdah dekat dengan kita sejak dulu. Kalau tak kita, siapa lagi yang menjaga warisan ini. Tak hanya di Singapura, di Riau juga,’’ katanya.

Perbincangan seputar sastra klasik semakin mendalam dan hangat ketika syair dan pantun juga merasuk ke dalam karya-karya lain seperti naskah teater bangsawan. Hal ini juga mendapat perhatian dari audiens. Mereka yang hadir antara lain, Kazzaini Ks, Tien Marni, Aries Abeba, Temol Amsal, Mosthamir Thalib, Syafruddin Saleh Sei Gergaji, Fakhrunnas MA Jabbar, Dheni Kurnia, Hang Kafrawi, Bambang Kariyawan. May Moon Nasution, Kunni Masrohanti dan masih banyak lainnya.

Pembacaan puisi oleh para penyair tersebut menambah meriah suasana. Ditambah musikalisasi persembahan SMKN 2 Pekanbaru.

‘’Sudah pasti saya bangga bisa hadir di Madah Poedjangga malam ini. Semestinya di berbagai kota dan negara membuat acara pelestarian sastra seperti ini,’’ kata Bunda Din lagi.(esi)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook