Oleh Ramon Damora
(Catatan setelah Madah Poedjangga)
SEBUAH jalan, kita tahu, tak pernah sama. Meski peluh yang menetes di tubuhnya adalah keringat yang mencuat dari kulit jangat kita dahulu juga. Sebuah jalan mungkin tak mewakili apa-apa lagi. Dengan, atau tanpa, sebarang pun dalih. Sebab sebuah jalan kadang hanya ingin menampung beban deritanya hari ini. Tak hendak menjenguk kesilaman. Juga hari depan.
Sebuah jalan seakan harus menjawab semuanya sekarang. Detik ini juga! Proyek pengaspalan para petahana yang kejar tayang menjelang Pilkada, deru knalpot di balik rutinitas membosankan, bahkan cabaran el-maut. Jalan menjadi bentangan yang serba meringkas, sekaligus meringkus, kehidupan. Manusia. Tiada interupsi.
Tak ada tempat singgah untuk, katakanlah, seperti ruang kota yang diangankan penyair tercela Charles Boudilaire: “sekadar berimajinasi dan melakukan perkara-perkara yang belum basi”. Apa, misalnya, yang bisa menghentikan kita hari ini senyampang berkendara di sepanjang Jalan HR Soebrantas? Kantor, hotel, anjungan kartu tarik tunai, gerai kedai, kampus, pasar, rumah sakit jiwa (bila terpaksa), rumah calon mertua, atau apa?
Jalan Soebrantas hari ini adalah ketergesaan, kecemasan, juga lintasan kematian. Keluar dari rumah, kabut celaka dengan polutan sangat tinggi sudah menanti. Traffic light kerap padam. Truk-truk bertonase tinggi menyalip semau jahanam. Tak ada yang baru di depan Pasar Baru, kecuali riwayat sebongkah kepala yang selalu terdengar dilindas fuso, tornton, yang lalu lalang dengan bebas setelah “dikawal” polantas.
Simpang Tabek Gadang? Ah, itu kan hanya nama lain dari kolam besar, tempat Izrafil, lagi-lagi, membasuh ajal korban sopir-sopir bengal. Satu-satunya yang menghibur mungkin hanya Pasar Jongkok. Saat kita duduk mencangkung, menawar pakaian murah, berdamai dengan kantong dan bulan tua, saat itu pula (maaf) cuma bokong kita yang menghadap ke jalan, seolah ingin menertawai kemacetan Panam yang entah kapan bisa diredam.
Ya, Jalan Soebrantas hari ini adalah komedi. Tragedi, berbancuh timing nan pas, diselip pula dengan sedikit bumbu parodi, diyakini sementara filosof sebagai formula komedi yang baik. Ketika mendiang Wan Ghalib merisik asal-usul Panam, nama lain Jalan Soebrantas, dari Pan-Am (Pan America), sebuah perusahaan minyak asal Amerika dengan agenda wilayah eksploitasi 816 juta hektare di Pekanbaru tahun 1960-an, parodi sebuah jalan sebenarnya telah dimulai.
Tahun berlari. Kita tahu Pan-Am akhirnya bubar. Kandungan minyak bumi yang konon tersimpan di zona Jalan Soebrantas hingga kini tak pernah sungguh-sungguh terbukti. Hayalan mati meninggalkan nama, Panam, yang hari ini tersergam dalam rupa-rupa beban. Ke timur, ia meliuk-mendaki-menukik lintas Sumatera, pertemuan pelbagai simpang ambisi yang pongah, muslihat perusahaan gergasi, dusta para pemangku negeri, hamparan sawit-sawit menyembunyikan sekam dan dendam, keriap azab.
Ke Barat, ia melandai menyusur beban sejarah, jalur sutera ‘rang dagang, hutan-hutan membara, waduk yang membuat Sungai Kampar jadi terkutuk, dan seterusnya. Demi menyempurnakan parodi, mungkin ada di antara kita yang hendak menyelipkan hikayat Pan Amerika yang lain. Versi Americanisme Simon Boliviar, misalnya. Penggagas gerakan Pan Amerika di awal abad 19 itu bercita-cita soal bersatunya duli semua bangsa Benua Amerika. Jalan tol bernama Pan Amerika sepanjang 48 ribu kilometer, menyisir 15 negara, sekarang tegak tercagak. Ingatan sejarah yang benar bagi sebuah kehendak.
Tetapi Panam hanyalah Panam. Semolek apapun kait-kelindan kaidah toponiminya dengan sebuah-dua peristiwa. Itulah parodi. Ia menyingkat narasi besar sependek akronim. Kita tak lantas menjadi zalim-sejarah gara-garanya. Yang patut dicemaskan ialah tatkala bahasa tersesat, buntu, saat itu senjakala akal-budi ditabuh di tengah-tengah kota. Panam, alias Jalan HR Soebrantas, hanya salah satu, atau salah dua, contoh sakratul-maut bahasa kemanusiaan di jalan-jalan raya di negeri ini.
Masih adakah harapan? Pasti. Hadirkan puisi sebagai oase di tengah gurun gerun ruang kota. Nyaringkan suara puisi memanggil kalbu yang selama ini barangkali tertimbun hilir-mudik beku kesibukan, dan debu kendaraan. Gempitakan puisi di tembok-tembok kota, sebagai jeda jelajah dari jalan-jalan yang kian merayakan pembunuhan massal akal dan nalar. Bersorak dengan sajak!