RESENSI BUKU

Lawan Korupsi Sejak Dini

Seni Budaya | Minggu, 18 Oktober 2015 - 01:08 WIB

Lawan Korupsi Sejak Dini

Oleh May Moon Nasution

BEBERAPA  tahun belakangan, lembaga independen negara atau biasa kita kenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap menjaring pejabat negara, politisi, dan polisi. Tak terkecuali dengan guru, bahkan tenaga-tenaga profesional lainnya yang tersangkut kasus korupsi. Ini terlihat ketika Transparansi Internasional mengeluarkan Indeks Prestasi Korupsi di 183 negara tahun 2011. Hasilnya sangat mengejutkan, Indonesia berada pada peringkat 100. Sementara pelaku bisnis, yaitu perusahaan Political and Economic Risk Consultansy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, merilis pada Senin, 8 Maret 2010 lalu, dari 16 negara se-Asia Pasifik, Indonesia berada di bawah sebagai negara paling korup.

Baca Juga :Mengenal Kearifan Budaya Lokal Masyarakat

Kasus korupsi dalam buku ini, disuguhkan dengan bentuk-bentuk opini yang memikat, dengan data-data yang cukup akurat dan progresif. Kasus korupsi dipandang sebagai problematika bangsa Indonesia, yang direpresentasikan dalam bentuk opini. Kasus ini dianalogikan sebagai “penyakit” yang sudah merusak sistem kehidupan dan melilit bangsa. Bahkan telah mencapai tahap mengkhawatirkan, sebab ia (baca: korupsi) telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan. Tetapi tampaknya, pelaku-pelaku korupsi masih saja berkeliaran, meskipun peraturan penguasa, undang-undang, peraturan pemerintah, dan intruksi presiden serta sejumlah undang-undang disahkan (hal. 3).

Hal yang mendasar dan menjadi inti dari beberapa pandangan kritis dalam buku ini yaitu, persinggungan pendidikan dan korupsi, serta solusi yang ditawarkan. Korupsi dianggap sebagai musuh berbahaya dalam proses pembangunan bangsa. Korupsi telah merusak seluruh sistem kehidupan dan mengubur nilai-nilai agama, serta warisan leluhur para pendiri bangsa, sehingga mengakibatkan rapuhnya pembangunan, lumpuhnya ekonomi, lemahnya penegakan hukum, tersumbatnya pendidikan, meningkatnya angka kemiskinan, dan akhirnya berpotensi menghancurkan bangsa (hal. 4-5).

Sementara solusi yang ditawarkan yaitu bagaimana Islam memandang perilaku korupsi sekaligus dengan dalil-dalil otentik. Sebab jika kita baca dari beberapa sumber dalam buku ini akan terlihat dominan literatur yang pakai yaitu Alquran dan Hadits. Sumber tersebut terlihat pada paragraf-paragraf yang disajikan dan dikategorikan penulis, seperti dalam surat Ali-Imran tentang tindakan ghulul/penggelapan, (Q.S. Ali-Imran/3: 161), mengambil harta dengan cara yang batil, (Q.S. Al-Baqarah/2:188), suap (risywah), mengambil harta orang lain dengan cara yang diharamkan (aklu al-suht), (Q.S. Al-Maidah/5:62), (Hal. 5). Bila kita telusuri lebih jauh, penulis juga berpijak pada sejumlah Hadits (H.R. At-Tirmidzi No. 1336) dan buku, serta beberapa perkataan masyur para ulama.

Saya berasumsi bahwa inilah yang menjadi cikal bakal sub-sub tajuk pembahasan dalam buku ini. Pengalaman saya dari beberapa percakapan-percakapan ringan dengan Susanto, di tengah profesi kami sebagai guru di sebuah lembaga pesantren di Siakhulu, Kampar, saya menangkap gagasannya dalam beberapa forum. Kemudian terjalin dengan  perspektif Islam yang kritis. Sebab hampir di sejumlah sub-sub tulisan dalam buku ini berpijak dengan dasar Al-Quran dan Hadits. Dapat ditengarai bahwa landasan ini disajikan penulis buku ini sebagai solusi dari berbagai kasus yang dikemukakannya melalui teks-teks, bukan berusaha menghakimi para pelaku korupsi.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook